Oleh: Siti Komariah, S. Pd. I.
Hingga saat ini pandemi masih menyelimuti bumi pertiwi. Berbagai kebijakan pun telah dilakukan oleh penguasa, namun nyatanya belum juga menuai hasil nyata. Berbagai kritik pun kembali muncul di tengah publik. Kali ini tentang mahalnya biaya tes PCR Corona yang ditetapkan di Indonesia.
Menurut Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Lhokseumawe, Aceh Utara, menyampaikan kritiknya terhadap harga tes PCR dan tes antigen yang mahal. Mereka merasa negara seperti sedang berbisnis dengan rakyatnya lewat penetapan harga tes Covid-19 yang mahal (detik.com, 13/08/2021).
Senada, Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritik mahalnya harga tes polymerase chain reaction (PCR) di Indonesia. Kritik ini disampaikan, karena harga tes PCR di Indonesia lebih mahal setelah adanya informasi terkait perbandingan tarif PCR di India.
Dalam sejumlah pemberitaan diketahui bahwa Pemerintah India memangkas tarif PCR dari 800 Rupee menjadi 500 Rupee atau sekitar Rp 96.000. Sedangkan di Indonesia, Kementerian Kesehatan melalui Surat Edaran Nomor HK.02.02/I/3713/2020 menetapkan tarif tertinggi untuk pemeriksaan PCR sebesar Rp 900.000 atau sekitar 10 kali lipat dari tarif di India (jawapos.com, 16/08/2021).
Setelah berbagai kritik yang dilayangkan oleh masyarakat atas mahalnya tes PCR dan antigen mandiri, membuat pemerintah kembali pengambil sebuah keputusan guna mempercepat penanganan pandemi, yaitu menurunkan harga tes PCR Corona.
Presiden Joko Widodo ( Jokowi) memerintahkan agar harga tes polymerase chain reaction (PCR) diturunkan. Jokowi meminta agar biaya tes PCR di kisaran Rp 450 ribu hingga Rp 550 ribu.
“Saya sudah berbicara dengan Menteri Kesehatan mengenai hal ini, saya minta agar biaya tes PCR berada di kisaran antara Rp 450.000 sampai Rp 550.000,” kata Jokowi dalam keterangannya melalui kanal YouTube Setpres, Minggu (15/8/2021).
Selain untuk menurunkan harga, Jokowi memerintahkan agar hasil tes PCR dipercepat. Dia meminta agar hasil tes PCR keluar dalam waktu maksimal 1×24 jam (detik.com, 15/08/2021).
Penurunan harga tes PCR atau antigen mandiri tentunya sedikit menjadi anggin segar bagi rakyat negeri ini. Sebab, dengan penurunan harga tes PCR, maka rakyat bisa semakin menjangkaunya dan bisa dengan mudah untuk melakukan PCR. Sehingga, hal ini bisa berdampak baik bagi penanganan pandemi.
Namun nyatanya, kebijakan tersebut tidak begitu saja ditetapkan dengan mudah. Negara masih mengevaluasi atau mengaudit berbagai lembaga-lembaga tes untuk tetap memberi pemasukan kepada negara dengan berbagai cara. Sungguh miris.
Hal ini semakin membuktikan jika negara tidak menjadi periayah sejati bagi rakyatnya. Negara tidak melayani rakyatnya dengan baik. Dimana, mereka masih melakukan transaksi dan perhitungan ekonomi kepada rakyatnya. Padahal, sejatinya pemimpin merupakan pelayan bagi rakyatnya.
“Imam /Khalifah adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia akan dimintai pertangungjawab atas pengurusan rakyatnya.” ( HR. Bukhari).
Sehingga, negara harusnya tidak hanya menurunkan harga tes PCR, tetapi juga memberikannya secara gratis dan mencakup seluruh rakyatnya, tanpa tebang pilih. Apalagi, hal ini dilakukan untuk mendeteksi keberadaan virus untuk memisahkan antara orang yang sakit dan sehat agar virus corona dapat segera dihentikan. Pun, kesehatan juga merupakan sebuah kebutuhan pokok yang wajib dipenuhi oleh negara. Negara memiliki kewajiban guna menyediakannya secara murah, bahkan gratis dengan berbagai sarana dan prasarana kesehatan yang terbaik. Haram hukumnya negara mengambil keuntungan disaat rakyat sedang mengalami kesusahan.
Namun, hal tersebut “bagai pungguk merindukan bulan” sesuatu yang mustahil terjadi dalam sistem kapitalisme. Sebab, watak negara kapitalistik yang berasas pada aspek manfaat dan materialistik, membuat sebuah kepemimpinan selalunya dijadikan ajang bisnis guna meraup sebuah keuntungan. Mereka bahkan rela mengorbankan nyawa rakyat hanya demi meraup sebuah keuntungan. Melupakan ikrar janji kepemimpinan untuk mensejahterakan rakyatnya.
Seyogianya, penguasa saat ini mencontoh bagaimana para pemimpin terdahulu memimpin negerinya. Dimana para pemimpin atau khalifah berdiri sebagai raa’in (pengurus) dan junnah (pelindung) bagi rakyatnya. Mereka menjadikan kepemimpinan sebagai amanah yang harus diemban dengan sebaik-baiknya dan tujuan utama yaitu meriayah rakyat mencapai kesejahteraan hakiki, yang semuanya disandarkan kepada syariah Allah.
Berbagai kisah dan teladan telah dicontohkan oleh para khalifah pada keemasan silam. Bagaimana negara Islam menjamin kebutuhan pokok rakyat, mulai dari kesehatan, pendidikan, hingga keamanan.
Dalam bidang kesehatan, sejarah peradaban Islam telah menorehkan catatan dengan tinta emas bahwa sepanjang masa kejayaan Islam, perawatan medis diberikan secara cuma-cuma kepada masyarakat. Rumah sakit dibangun dan tersebar di kota-kota Islam di seluruh dunia, misalnya, di Cairo rumah sakitnya mampu menampung hingga 8000 pasien.
Tak hanya itu rumah sakit juga dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang canggih. Kemudian dilengkapi dengan para dokter dan perawat yang berkompeten. Bahkan, layanan kesehatan dalam rumah sakit tersebut menjadi favorite bagi para pelancong asing hanya sekedar ingin menikmati pelayanan terbaik dari tim medis. Tentunya, dalam catatan sejarah, tim medis selalu menyambut baik siapapun yang hendak berobat, walaupun mereka non muslim sekaligus. Namun, jika mereka tidak menunjukkan tanda-tanda sakit, maka mereka akan disuruh untuk pulang.
Begitupun dalam penanganan pandemi. Masalah tersebut juga telah tergambar, bagaimana khalifah Umar bin al-Khattab meM Dimana, beliau menyediakan layanan kesehatan terbaik bagi rakyatnya, mulai dari memisahkan orang-orang yang sakit dan sehat, menyediakan obat-obatan, menyediakan kebutuhan dasar dan lain sebagainya. Sungguh indah tergambar bagaimana pemimpin dalam Islam melayani rakyat dengan segenap jiwa dan raganya. Wallahu A’alam Bisshawab.
Penulis adalah Pemerhati Masalah Publik