Ketika Pileg Hanya Dimaknai Sebatas “Ajang Perebutan Kursi”

Pena Opini663 views

Oleh: Adi Joni

Perhelatan pemilihan legislatif (Pileg) merupakan sarana kedaulatan rakyat untuk memilih para wakilnya menduduki kursi dewan sebagai representasi garda terdepan dalam hal menyuarakan dan menyalurkan segenap aspirasi masyarakat yang ada.

Amanah itu secara umum dikemas dalam tiga fungsi utama anggota dewan yakni membentuk peraturan perundang-undangan, membahas dan menetapkan perencanaan anggaran serta melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintahan.

Sebuah tugas besar nan berat yang tentu menyisahkan pertanyaan mendalam bagi kita “Akankah berbagai fungsi itu bisa terwujud jika sejak awal kecenderungan mengorientasikan Pileg sebatas perebutan kursi kekuasaan lebih ditonjolkan ketimbang melakukan autokritik mengenai kualifikasi personalnya masing-masing?”

Yang mana sebenarnya nilai-nilai seperti kompetensi, integritas serta akuntabilitas diri adalah sesungguh-sungguhnya dasar yang perlu ditinjau dahulu oleh seorang kandidat, sehingga langkahnya kelak tidak tertatih-tatih dalam memenuhi harapan masyarakat. Demikian pula tugas yang telah dimandatkan kepadanya di kemudian hari bisa ia tunaikan dengan baik, terarah dan sarat tanggung jawab.

Munculnya kecenderungan mengorientasikan Pileg sebagai ajang perebutan kursi kekuasaan semata, lantas mengesampingkan nilai-nilai subtantif di atas, tak hanya dapat menodai marwah maupun elektabilitas para kandidat yang mencalonkan diri, akan tetapi dapat pula menghambat proses konsolidasi dan pendewasaan demokrasi dalam keseharian hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Betapa tidak, nikmat kesejahteraan berdemokrasi yang seharusnya bisa berjalan maksimal, penuh dengan nuansa edukatif yang berkedaulatan rakyat menjadi hingar-bingar sarat ketegangan dan tentunya sangat tidak mencerahkan lagi merugikan masyarakat luas.

Oleh karena motivasinya begitu gigih untuk memperoleh kursi maka segala cara, daya dan upaya entah baik atau buruk, besar kemungkinan akan dikerahkan sedemikian keras sehingga tak peduli lagi nilai dan norma apa yang dikangkangi, kohesifitas masyarakat seperti apa yang akan dicederai.

Apakah dengan menzholimi kehendak masyarakat lemah dan papah, atau dengan mengukur harga diri petani serta nelayan berdasar recehan, lalu membodohi pemuda dengan janji-janji surga.

Beberapa hal itu bisa jadi sudah tak menjadi soal bagi mereka, asal bisa menang dan meraup suara sebanyak-banyaknya, maka dianggap lumrah dan sah-sah saja untuk dilakukan. Peristiwa semacam itu lazimnya sering kali ditemui dalam pola-pola kampanye dan agitasi terselubung yang dilakukan Caleg bersama timsesnya menjelang Pileg.

Muncul kemudian black campaign, politik uang, pendangkalan nilai-nilai demokrasi dan seterusnya. Pada tahap inilah mainset berpikir Caleg yang pragmatis-oportunis menjadi penting untuk diwaspadai oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali.

Kewaspadaan itu paling tidak bisa mewujud dalam upaya bersama melakukan pencegahan dini melalui sosialisasi dan pendidikan politik yang baik dan benar. Masyarakat sudah harus mulai berani untuk menolak dan menentang polarisasi Caleg yang hadir dengan cara-cara tidak mendidik, seperti yang sudah disebutkan, karena hanya dengan cara itulah masa depan masyarakat Buton Tengah (Buteng) yang berkeadilan dan berkesejahteraan bisa tercapai.

Tulisan ini bermaksud untuk mengingatkan kembali masyarakat Kabupaten Buteng secara umum dan masyarakat Mawasangka induk khususnya, bahwa pelaksanaan Pileg Kabupaten Buteng hampir tiba, pengadilan terakhir yang akan memutuskan baik atau buruk hasilnya adalah masyarakat sendiri.

Semakin jelih masyarakat melihat kondisi yang berkembang, tegas sikap dan rasional dalam menilai kondisi tersebut maka semakin jauh pula dari korban pembodohan dan iming-iming. Tetapi sebaliknya, semakin tidak jelih, tegas dan rasional maka masyarakat akan dijadikan sasaran empuk oleh mereka. Sebab, ketika Pileg hanya dimaknai oleh Caleg sebatas ajang perebutan kursi kekuasaan, maka keberadaan masyarakat hanyalah akan dimanfaatkan untuk memenuhi hasrat kekuasaan itu.

Pileg berkualitas, daerah berkemajuan.(***)

Penulis adalah mahasiswa asal Buteng Jurusan Ilmu Politik UIN Alauddin Makassar