PENASULTRA.COM, JAKARTA – Direktur Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Maryati Abdullah menilai, pengendalian ekspor mineral dan batubara telah sesuai dengan UU No 4 Tahun 2009. Hanya saja kata dia, penerapannya masih maju mundur.
Kebijakan pembatasan ore nikel itu, menurut dia, seharusnya sudah diberlakukan paten sejak 2014 lalu. Namun kebijakan saat itu diberikan pemerintah dengan catatan, boleh ekspor asal konsentrat. Kemudian kebijakan baru muncul lagi pada 2017. Boleh ekspor asal sebelumnya dilakukan pengolahan atau pemurnian.
Penambang yang telah memiliki izin usaha pertambangan (IUP) nikel melihat situasi ini, –terlebih saat dimajukannya penerapan larangan ekspor pada awal 2020 dari sebelumnya 2022–, bespekulasi melakukan produksi ekspor besar-besarnya ditengah harga nikel yang lagi naik.
“Memang ada inkonsistensi saya lihat, kebijakannya terus terrelaksasi alias diulur-ulur. Yang itu menyebabkan ketidakpastian bagi para pelaku usaha, maupun perekonomian khususnya penerimaan negara dan daerah,” kata Maryati saat dihubungi, Sabtu 9 November 2019.
Melihat reaksi kepanikan para pengusaha tambang yang over ini, dikutip dari duniatambang.co.id, pemerintah pusat melalui Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia akhirnya membuat kesepakatan menghentikan ekspor nikel untuk yang di luar batas kewajaran.
Kebijakan ini merupakan buntut munculnya angka yang tidak wajar dimana ekspor bijih nikel yang awal mulanya hanya sekitar 30 kapal per bulan, berubah drastis menjadi 100-130 kapal per bulan. Hal tersebut yang menyebabkan pelarangan ekspor dilakukan secara tiba-tiba oleh Bahlil untuk mengevaluasi kejanggalan tersebut.
Namun, belakangan, pada Kamis 7 November 2019, Menteri Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan mengatakan izin ekspor telah dibuka kembali bagi para pengusaha nikel yang tidak melanggar peraturan. Bagi perusahaan yang melanggar, akan dilakukan penertiban sesuai dengan kebijakan yang berlaku.
Menyikapi hal ini, menurut Maryati, hal itu tak bisa dicegah. Sebab itu merupakan reaksi pasar.
“Namanya orang berdagang atau ekspor pasti setiap kebijakan tiba-tiba dipercepat naik tahun 2020 pada Januari (sesuai Permen ESDM No 11 Tahun 2019) orang langsung secepatnya ekspor karena mengejar profit,” ujarnya.
Maryati menegaskan, sebuah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah semestinya tidak seperti orang sakit minum obat. Sementara di sisi lain, perusahaan punya investasi jangka panjang.
“Menurut saya, aspek lingkungan dan daerah yang paling penting. Jadi kedepan pelajaran buat pemeritah dan juga semua pihak harus buat kebijakan yang konsisten,” tegasnya.(a)
Penulis: Irwan