Oleh: Moch Zainul Arifin
Beberapa hari lalu kita mendengar kembali reuni alumni 212 digaungkan kembali. Tentu saja sekilas kita membaca dinamika politik, sebut saja, reunian itu sebagai agenda politik identitas. Munculnya gerakan massa tersebut tentu tidak bisa lepas dari diskursus publik belakangan ini tentang penistaan agama, kriminalisasi ulama, disparitas ekonomi, isu komunisme dan seterusnya.
Kepentingan-kepentingan tersebut tampaknya coba diakumulasikan ke dalam satu nafas solusi, yakni Politik Islam. Lalu apakah artikulasi dari politik identitas tersebut dipermasalahkan oleh konstitusi sehingga kepentingannya dapat diintervensi sedemikian rupa dari awal?
Tentu saja konstitusi menjamin seluruh ekspresi warga negara, bahkan bila agenda itu datang dari kelompok yang paling oposisional sekalipun dari pemerintah. Namun yang menjadi pokok perkara sebetulnya bagaimana kepentingan itu, tidak hanya sebagai tuntutan, mampu diterjemahkan menjadi argumentasi rasional untuk dipostulatkan ke dalam kebijakan publik yang berbasis pada masalah sosiologis, bukan ideologis.
Masalah sosiologis tersebut—misalnya tentang penegakan HAM, kesejahteraan masyarakat, keadilan, kemakmuran, pendidikan, lingkungan dan lain-lain–harus terus diperjuangkan supaya korporasi dan peradaban dapat berubah lebih baik lagi. Jadi tulisan ini akan menguji demokrasi lebih jauh di dalam mewadahi permasalahan tersebut.
Proposal Multikulturalisme dan Nasionalisme
Narasi multikulturalisme dan nasionalisme disodorkan oleh penguasa demi menyelesaikan problem politik identitas. Wacana tandingan secara normalitas dari ‘Islam Arab’ maka disodorkan wacana ‘Islam Nusantara’, ‘Islam Berkemajuan’ dan seterusnya. Tetapi ketika kita melihat soal 212 dan reuniannya dalam kerangka multikulturalisme Kymlicka, sebetulnya justru masalah politik identitas itu bukan pada soal budaya melainkan pada basis obsesi ideologis. Dalam arti ada keinginan mengubah dasar negara menjadi negara agama. Lalu dibalutlah dengan slogan nasionalisme.
Demikian juga nasionalisme—digaungkan dengan slogan NKRI harga mati–dalam pengertian Durkhiem seharusnya menjadi daya dorong atau e’lan vital bangsa dalam memperjuangkan cita-cita bersama atau bahkan memerangi musuh atau penjajah. Bukan dalam konsteks electoral politics slogan itu dicanangkan untuk menahan kritik dan memukul kelompok warga negara yang lain. Malah nasionalisme di sini dicanangkan sebagai ideologi untuk berkonfrontasi dengan ideologi yang lain dalam pertandingan politik yang berakibat pada hegemoni narasi penguasa.
Konstitusi yang berbasis pada kedaulatan rakyat sebenarnya telah membatalkan klaim ideologis politik identitas tersebut dari awal. Dengan demikian sejauh konstitusi sejak awal telah menutup percakapan obsesi ideologis tentang dasar negara dalam frame politik identitas, maka sebetulnya tidak perlu dikhawatirkan secara mendalam lagi melainkan perlu dipahami hanya sebatas politik rekognisi saja dalam domain sosiologis dari mereka yang merasa tidak diberlakukan secara adil.
Justru di sinilah yang sebenarnya tampak lucu. Politik identitas sebetulnya diucapkan oleh mereka yang minoritas dalam upaya politics of recognition supaya hak mereka dipahami oleh penguasa dan distribusi keadilan terselenggara. Di situlah pentingnya demokrasi yang sederhananya sebagai wadah untuk menyuarakan hak-hak minoritas bahkan the unspeakable, bukan mayoritas. Pada reuni 212 yang menginginkan rekognisi justru kelompok mayoritas, yakni Islam. Tetapi kedaulatan rakyat tidak mengenal adanya mayoritas maupun minoritas. Semua statusnya sama yakni warga negara dalam asas equality before the law.
Dengan demikian sebenarnya pemerintah perlu membaca ini sebagai opini publik dalam kerangka permasalahan sosiologis, yakni menyediakan ruang tuntutan dengan argumentasi rasional. Untuk itu kebijakan publik yang diambil bukan berasal dari pihak mayoritas pemerintah saja, melainkan juga tuntutan sosiologis dari reuni 212 tersebut, atau bahkan dari tuntutan lain, dari sana public reason dan juga political consensus akan tersedia sedemikian rupa di ruang publik.
Tetapi sialnya negara juga memainkan isu politik identitas sejak awal demi electoral politics. Sebut saja demikian, apabila kubu Prabowo didukung oleh para alumni 212 dan Sandi yang dinobatkan sebagai santri post-islamisme dari Ijtima Ulama versi mereka, demikian juga dengan Jokowi yang menggandeng KH. Maruf Amin untuk mendulang suara dari pihak warga Nahdliyin.
Dengan demikian, kalau hendak isu politik identitas dihilangkan, sebaiknya sedikit demi sedikit kita harus mencicil dan mengikisnya di dalam debat argumentatif bukan sentimen ideologis. Berangkat dari hal tersebut, sebetulnya kita dapat membaca bahwa peradaban politik kita masih dihuni oleh kepentingan-kepentingan elektoral masing-masing pihak, bukan pada masalah substansial di masyarakat. Maka demokrasi sejauh ini akan diuji apakah mampu mewadahi setiap pengalaman dan eksistensi warga negara, bukan dalam domain komunal.
Implikasi dari politik identitas dan hegemoni penguasa adalah selalu berujung pada absolutisasi politik bahkan pada politik kekerasan. Maka ujian tersebut berada dalam anti-finalitas politik disensus, bukan politik konsensus.
Peradaban dan Masalah Kebebasan
Tanggung jawab adalah inti dari kepemimpinan. Sebuah kearifan tua peradaban yang justru tidak kita miliki hari-hari ini. Masalah substansial seperti pangan, pendidikan, daya dukung bumi, disparitas ekonomi antar warganegara bahkan antarnegara seharusnya menjadi pertanyaan yang diajukan terlebih dahulu mendahului konfrontasi perbedaan ideologi dan semua ambisi politik.
Dalam artian, bahwa kepemimpinan bukan lagi dimengerti sebagai kompetisi otoritas, melainkan sebagai ko-operasi humanitas. Prinsip pemimpin secara leadership yang hierarkis di peradaban kita perlu digeser ke prinsip partnership yang egalitis. Untuk itu, keterlibatan setiap elemen masyarakat dalam memimpin peradaban secara etis dan advokatif menjadi penting untuk disodorkan.
Sebagaimana Rocky Gerung nyatakan bahwa peradaban digerakan oleh dua hal yakni Akal Teoritis dan Advokasi. Dari akal teoritis lahir dua etik, yaitu ethics of right dan ethics of care. Maka baik Presiden maupun Khilafah, konsep kepemimpinan itu harus didasarkan pada prinsip partnership egaliter bersama, bukan hierarki yang absolut dan rigid.
Namun tawaran itu masih tersumbat oleh kemampuan masyarakat pada terbatasnya akses fungsi elementer–dalam istilah Amartya Sen–sehingga rational choice di dalam mengambil keputusan selalu dilabuhkan pada keuntungan personal dan komunal, bukan pada manfaat substansial.
Untuk itu di samping kebebasan yang dilindungi– protected sphere dalam istilah Mill dan Hayek–oleh negara, perlu diperhatikan juga kebebasan kapabilitas ( the ability to achieve—dalam istilah Sen). Artinya, prasyarat minimal untuk menyelenggarakan kehidupan bersama harus dinyatakan sebagai hak asasi. Sebab, bagaimana mungkin kehidupan sosial diselenggarakan apabila dasar material kehidupan itu–yaitu pangan, lingkungan, pendidikan–hanya dimengerti sebagai komoditas.
Peradaban politik seharusnya tidak mempertengkarkan dasar material sebagai komoditas komunal non-asasi, daya beli dan daya konsumsi, melainkan berupaya mendistribusikan liberty of the will kepada seluruh aspek warga negara sehingga pembangunan manusia diukur dari kualitas hidup— quality of life, bukan pada tingkat pendapatan per kapita dan produk domestik bruto.
Dengan demikian saya berpendapat bahwa kesadaran kebudayaan kita harus sampai pada titik di mana kepemimpinan bukan lagi kerucut instruksi dari atas ke bawah, melainkan percakapan meja bundar di antara agen-agen sosial yang setara. Sistem kognisi sosial itu memungkinkan reasoning menjadi public goods, yakni hak semua individu untuk terlibat dalam argumentasi publik dalam masalah sosiologis.
Melalui prinsip tersebut, kepemimpinan partnership memungkinkan demokrasi sebagai wadah disensus argumentatif. Namun di samping itu, garda penggerak kualitas hidup masyarakat sebagai pembangunan manusia harus juga diperhatikan lebih jauh dalam kebijakan publik.
Dengan melihat demokrasi sebagai politik disensus warga negara, maka demokrasi harus selalu diuji terus menerus untuk tercapai peradaban dan keadilan yang lebih baik lagi dan lagi. Peradaban feodal di dalam negara yang mendeklarasikan sebagai negara republik yang demokratis ini harus ditinggalkan dan dikikis sedikit demi sedikit dengan wahana demokrasi disensus.
Apabila ada dikhawatirkan disensus dalam politik dan kebudayaan terkesan akan membuka konflik besar, justru disensus menghindari sebuah ketidaksepakatan yang sangat tajam yang dihasilkan dari timbunan hegemoni politik konsensus yakni kesepakatan yang dipaksakan seperti masa orba. Di sanalah bagi saya peradaban kita akan berkembang lebih baik lagi.(***)
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Budaya UGM dan Pengamat Muda yang Tertarik pada Filsafat Politik dan Keadilan