PENASULTRA.COM, KENDARI – Penegak Hukum di Sulawesi Tenggara (Sultra) seakan tutup mata dan melakukan pembiaran atas dugaan kejahatan tambang yang dilakukan oleh PT Roshini Indonesia.
PT Roshini Indonesia yang beroperasi di Blok Boenaga, Kabupaten Konawe Utara (Konut), diduga tidak memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dan merambah serta mengelola hutan lindung.
Ketua Forum Komunimasi Pemerhati Pertambangan (Forkita) Sulawesi Tenggara (Sultra) Randi Saban Dawir mengatakan IPPKH tersebut masih tahap pengurusan, Namun PT Roshini Indonesia telah merambah di kawasan Hutan Lindung.
Padahal, ini betentangan dengan Pasal 50 ayat (3) huruf g jo. Pasal 38 ayat (3) UU nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang mengatur bahwa “Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa melalui pemberian Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan yang diterbitkan oleh Menteri Kehutanan (IPPKH) dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.
Sanksi terhadap kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan tanpa dilengkapi IPPKH, telah ditegaskan dengan gamblang pada Pasal 78 ayat (6) UU nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa pelanggaran terhadap suatu kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan tanpa dilengkapi IPPKH akan berdampak pada ancaman sanksi pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
“Sangat jelas ini merupakan kejahatan lingkungan yang sangat merugikan masyarakat banyak,” kata Randi Saban Dawir, Selasa, 9 Desember 2021.
Lanjut Randi, Sebelumnya Direktur PT Roshini Indonesia sudah ditetapkan sebagai tersangka kejahatan lingkungan tanggal 28 juni 2019 karena korporasinya membabat hutan lindung.
“PT Roshini Indonesia ngotot melakukan kejahatannya, Walaupun Direkturnya sudah ditetapkan sebagai tersangka dan diduga tidak memiliki IPPKH. Karena diduga dibekingi oleh aparat penegak hukum di Bumi Anoa ini. Kami menduga perusahaan ini melakukan aktivitas pertambangan karena merasa dilindungi oleh mantan jenderal yang berkuasa di salah satu intitusi disini,” timpalnya.
Kata dia, PT Roshini Indonesia harusnya tidak boleh melakukan lagi aktivitas tambangnya menyusul berkas perkara kejahatan lingkungan yang dipersangkakan telah dinyatakan lengkap (P21) oleh Kejaksaan Agung. Lily Sami, selaku Direktur PT Roshini Indonesia ditetapkan sebagai tersangka dengan dugaan melanggar Pasal 299 UU nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dan/atau Pasal 109 UU nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Ini sebuah ironi. Bagaimana mungkin kita tetap membiarkan pelaku kejahatan merusak hutan kita hanya untuk memenuhi hasrat kapitalisnya dan kroni-kroninya? Apalagi sekarang mereka mau melakukan penjualan ore nikel dari hasil merusak,” ketus Randi.
Hasil penelusuran lapangan yang dilakukan pihaknya masih menemukan Korporasi Pelaku Kejahatan Lingkungan ini melakukan aktivitas pemuatan ore nikel di Terminal Khusus (Tersus) yang sebenarnya tidak memiliki izin lingkungan.
“Tumpukan stock file tersebut sudah siap dijual dan akan diangkut melalui jetty milik perusahaan ini dan itupun masih belum juga memiliki amdal tapi sudah berani dipakai. Saya berharap APH jangan korbankan citra hanya karena tidak bisa mengatasi PT. Roshini Indosesia ini. Aktivitas pertambangannya sudah saatnya ditindaki dengan serius. termasuk rencana penjualan ore nikel hasil ilegal tersebut,” tandasnya.
Kepala Bidang Perencanaan dan Pemanfaatan Hutan Dinas Kehutanan Sultra, Beni Rahardjo membenarkan bahwa IPPKH yang dimiliki perusahaan tersebut sudah berakhir dan sementara proses perpanjangan.
“Roshini ada IPPKHnya, posisi sudah berakhir. Infonya sedang mengurus proses perpanjangan IPPKH,” kata Beni Rahardjo saat dikonfirmasi via pesan WhatsApp.
Editor: Husain