PENASULTRA.COM, JAKARTA – Ketua Forum Mahasiswa Pasca Sarjana Sulawesi Tenggara (FMPSST) Jakarta Raya (Jaya) Muhammad Fajar Hasan meminta kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) RI dan Gubernur Sultra agar melakukan evaluasi sejumlah pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Sultra yang melakukan ekspor nikel ke luar negeri atau pemegang kuota ekspor.
Hal tersebut perlu dilakukan lantaran Fajar mensinyalir puluhan pemegang kuota ekspor dari 438 IUP sesuai data yang dirilis Dinas ESDM Sultra tidak patuh memenuhi kewajibannya sebagaimana yang diisyaratkan peraturan perundang-undangan.
“Dalam Permen ESDM Nomor 6 Tahun 2017 tentang tata cara pemberian rekomendasi memperoleh izin ekspor mengatur persyaratan sedemikian ketat dan tanpa toleransi,” kata Fajar, Kamis 14 Februari 2019.
Mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) Unhalu ini menerangkan, pada pasal 5 ayat 2 huruf g Permen tersebut menyebutkan bahwa pemegang IUP harus melampirkan dokumen rencana pembangunan fasilitas pemurnian di dalam negeri yang telah diverifikasi oleh verifikator independen, antara lain jadwal pembangunan fasilitas pemurnian, nilai investasi, dan kapasitas input per tahun.
Kemudian, kata dia, pada pasal 11 ayat (1) disebutkan bahwa Direktur Jenderal atas nama Menteri melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penjualan mineral ke luar negeri dan kemajuan fasilitas pemurnian di dalam negeri.
Jika pembangunan fasilitas pemurnian tidak tercapai, Direktur Jenderal atas nama Menteri menerbitkan rekomendasi kepada Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan untuk mencabut persetujuan ekspor yang telah diberikan.
Berdasarkan data yang dimiliki, sambung Fajar, di Sultra terdapat beberapa perusahaan memegang kuota ekspor tetapi tidak membangun smelter.
“Tim kami sedang melakukan validasi data, perusahaan mana yang tidak membangun smelter di Sultra,” ulasnya.
Masih kata Fajar, dalam Permen ESDM Nomor 6 tahun 2017 juga mengatur kewenangan gubernur bahwa salah satu persyaratan untuk mendapatkan izin kuota ekspor melampirkan dokumen rencana kerja dan anggaran biaya yang ditandatangani gubernur.
“Secara hukum posisi gubernur sangat kuat, termasuk dalam UU 23 tahun 2014 tentang Pemda, bahwa perizinan dan pengawasan usaha pertambangan menjadi kewenangan pemerintah provinsi,” bebernya.
Fajar mengaku prihatin atas kondisi Sultra saat ini. Gimana tidak, daerah yang kaya akan sumber daya alam, tetapi jumlah APBD-nya sejak 2015 kurang dari Rp3,5 triliun. Tidak bergerak naik.
“Semestinya hasil sumber daya alam Sultra khususnya nikel memberi kontribusi terhadap peningkatan APBD. Itu sebabnya, sudah saatnya Pemerintan Pusat dan Pemerintah Provinsi Sultra menertibkan, mendisiplinkan perusahaan pemegang kuota ekspor yang tidak membangun smelter,” pungkasnya.(b)
Penulis: Bas
Editor: Ridho Achmed