OTT KPK Terhadap AMN dan AZR Sah

Oleh: Muhammad Takdir Al Mubaraq, S.H.

Sontak publik seketika dibuat ramai dengan keberadaan lembaga anti rasuah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) di bumi Anoa beberapa waktu lalu.Dibalik keberadaannya itu, ternyata membawa semangat pemberantasan tindak pidana korupsi yang menggebu-gebu.Benar saja, Bupati Kolaka Timur AMN dan Kepala Dinas Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Kolaka Timur AZR dicokok oleh KPK atas dugaan tindak pidana korupsi suap pengadaan barang dan jasa.Turut menjadi barang bukti yang diperoleh KPK berupa uang senilai Rp. 250 juta.

Dalam pernyataan konferensi persnya di Gedung Merah Putih KPK turut ditampakkan AMN dan AZR dengan mengenakan rompi tahanan KPK.Pada konferensi pers KPK yang dibacakan oleh komisioner KPK Nurul Gufron peran diantara keduanya dalam kasus korupsi suap ini adalah AMN dikualifikasikan sebagai penerima suap sedangkan AZR dikualifikasikan sebagai pemberi suap. Untuk itu, sangkaan pasal yang dikenakan kepada AMN disangkakan kepadanya Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) sedangkan untuk AZR disangkakan kepadanya adalah Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU PTPK.

Pasca konferensi pers KPK tersebut, muncul argumentasi di media sosial bahwa Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh KPK terhadap AMN dan AZR adalah tidak sah atau ilegal.Kiranya ada beberapa point argumentasi yang coba dibangun terkait hal itu, yakni:

Pertama,memberikan pengertian atas tangkap tangan adalah bagian dari penjebakan.

Kedua, pegertian OTT adalah berbeda dengan pengertian tangkap tangan yang dimaksudkan di dalam Pasal 1 angka 19 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Ketiga, isitilah OTT tidak dikenal di dalam UU KPK sehingga terjadi kekosongan hukum.

Keempat, OTT memiliki 2 kelemahan yakni penyadapan yang diatur secara umum di dalam UU KPK dan penjebakan yang tidak dikenal di dalam hukum.

Kelima, OTT tidak sama dengan tangkap tangan, karena OTT dilakukan oleh KPK setelah seseorang melakukan tindak pidana untuk itu harus membawa surat perintah penyelidikan.

Keenam, OTT melanggar konsep due process of law dan asas praduga tidak bersalah.

Ketujuh, penyadapan itu harus atas izin dewas.

Dasar argumentasi tersebut di atas sebagian besar juga dapat dilihat pada pokok pemikiran dari hasil penulisan Skripsi yang ditulis oleh Widya Parameswari Resta Mahasiswa dari Fakultas Hukum Universitas Udayana dengan judul “Legalitas Operasi Tangkap Tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.

Sebelum memberikan tanggapan terkait dengan argumentasi yang menyatakan OTT KPK terhadap AMN dan AZR adalah ilegal, penulis terlebih dahulu mengutip pendapat dari K.H Abdurrahman Wahid Presiden RI ke-4 Republik Indonesia atau sapaan akrab Gus Dur.Beliau mengatakan bahwa “jika terdapat perbedaan pendapat, maka cukuplah perbedaan itu hanya sampai dikerongkongan tidak perlu sampai ke hati”.Menurut Penulis perbedaan pandangan adalah menjadi hal yang lumrah terjadi dalam dunia akademik maupun praktik untuk itu perbedaan pandangan mesti dianggap sebagai suatu tambahan dalam memperkaya ilmu pengetahuan.

Tanpa mengurangi rasa hormat Penulis.Pada pokoknya Penulis memandang perlu untuk menanggapi hal ini agar menghadirkan diskusi yang berimbang dalam melihat kasus OTT KPK terhadap AMN dan AZR.Sebagai suatu stand point diawal sebelum memberikan argumentasi, Penulis sendiri berpendapat bahwa OTT KPK itu tidak memiliki pemaknaan yang berbeda dengan tangkap tangan di dalam Pasal 1 angka 19 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).OTT itu hanyalah sebuah istilah yang digunakan oleh KPK sedangkan secara substansi sebenanya merujuk pada tertangkap tangan yang terdapat di dalam KUHAP.

Adapun pendapat Penulis menanggapi argumentasi OTT KPK ilegal terhadap AMN dan AZR adalah sebagai berikut:

Pertama,terkait dengan memberikan penjelasan tertangkap tangan yang diatur di dalam Pasal 1 angka 19 KUHAP dengan memasukkan kata “penjebakan”.Selengkapnya penjelasan tertangkap tangan versi argumentasi OTT ilegal dalam artikelnya adalah “keadaan seseorang yang berbuat suatu tindak pidana dan diketahui oleh penyidik saat melakukan atau setelah melakukan tindak pidana tersebut tanpa adanya penjebakan”.(Lihat juga Abstrak Widya Parameswari Resta).Penulis berpendapat bahwa pengertian tertangkap tangan versi argumentasi OTT ilegal ini tidaklah dikutip secara sempurna sebagaimana dimaksudkan didalam Pasal 1 angka 19 KUHAP.Tegasnya bahwa penjelasan tertangkap tangan hanya diambil secara parsial dari penjelasan seutuhnya.

Adapun penjelasan untuh tertangkap tangan menurut Pasal 1 angka 19 KUHAP adalah “tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah digunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu”. (Soerodibroto, 2011).

Melihat penjelasan tertangkap tangan di atas bila dibandingkan dengan penjelasan tertangkap tangan versi argumentasi OTT ilegal sudah sangat jauh berbeda dan menyimpang dari ketentuan sesungguhnya. Apalagi pada penjelasan tertangkap tangan versi argumentasi OTT ilegal itu memasukkan kata “penjebakan” yang mana kata itu sebenarnya tidak terdapat pada penjelasan Pasal 1 angka 19 KUHAP. Dengan kata lain, penjelasan tertangkap tangan versi argumentasi OTT ilegal telah menambahkan sendiri kata tersebut dari penjelasan otentiknya.

Kedua, dari penjelasan tertangkap tangan pada Pasal 1 angka 19 KUHAP di atas kiranya terdapat 4 keadaan orang dinyatakan tertangkap tangan, yaitu: 1) pada saat sedang melakukan tindak pidana. 2) segerasesudah beberapa saat tindak pidana. 3) sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya dan 4) sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah digunakan untuk melakukan tindak pidana itu. Bahkan lebih luas lagi termasuk orang-orang yang dikualifikasikan kedalam delik penyertaan.

Membandingkan dengan penjelasan tertangkap tangan versi argumentasi OTT ilegal yang dikutip secara parsial dari ketentuan KUHAP, kiranya orang dinyatakan tertangkap tangan hanya terdapat dalam 2 keadaan (versi OTT ilegal) yakni: 1) saat dilakukan tindak pidana dan 2) setelah dilakukan tindak pidana. Hal ini jelasjauh berbeda dengan penjelasan tertangkap tangan yang telah Penulis jelaskan sebelumnya di atas, sehingga penjelasan tertangkap tangan versi argumentasi OTT ilegal tidak dapat diterima, tidak berdasar hukum, parsial serta telah membuat penjelasan baru secara subjektif dengan hadirnya kata “penjebakan”dalam penjelasannya yang sejatinya tidak terdapat dalam penjelasan di dalam KUHAP.

Ketiga, berdasarkan 4 keadaan seseorang dinyatakan tertangkap tangan sebagaimana disebutkan pada point kedua di atas apabila dikonstruksikan pada OTT yang dilakukan KPK bisa terdapat kemungkinan bahwa seorang ketika melakukan suatu tindak pidana korupsi tidak ditemukan barang bukti berupa uang saat dilakukan tindak pidana korupsi itu tetapi berdasarkan bukti permulaan yang cukup yang telah diperoleh sebelumnya sudah dianggap cukup dan masuk dalam keadaan tertangkap tangan sebagaimana dimaksudkan di dalam KUHAP.

In casu, OTT yang dilakukan oleh KPK terhadap AMN dan AZR tidak dalam keadaan setelah dilakukan tindak pidana, melainkan saat dilakukannya tindak pidana korupsi berupa suap. Hal ini dapat dilihat dari kronologi penangkapan oleh tim KPK yang mengikuti percakapan komunikasi antara AZR yang menghubungi ajudan Bupati untuk meminta waktu agar bisa bertemu AMN untuk memberikan uang sejumlah Rp. 225 juta. Namun karena saat itu AMN sedang ada pertemuan kedinasan di rumah jabatan Bupati, maka AMN menyuruh agar AZR menyerahkan uang itu kepada ajudan Bupati lainnya di rumah pribadi AMN di Kendari. Berdasarkan hal tersebutlah, kemudian tim KPK melakukan tangkap tangan kepada AZR dan juga AMN dan beberapa pihak lainnya termasuk ajudan Bupati dan suami AMN (selengkapnya lihat konferensi pers KPK tanggal 23 September 2021).

Keempat, berdasarkan kronologi penangkapan oleh KPK tersebut sebagaimana point ketiga di atas, maka argumentasi yang menyatakan bahwa itu bagian dari “penjebakan” tidak dapat diterima dan tidak didukung oleh fakta sebagaimana kronologi pekara. Mencermati makna kata penjebakan sebagaimana argumentasi versi OTT ilegal, penjebakan yang memiliki kata dasar “jebak” yang menurut KBBI adalah perangkap.“Jebakan” adalah hasil jebak, tipu muslihat. Sedangkan “penjebakan” adalah tindakan yang dilakukan penegak hukum terhadap seseorang untuk melakukan tindak kejahatan yang sebetulnya tidak akan mungkin dilakukannya (KBBI Kemendikbud).

Mencermati makna penjebakan secara harfiah tersebut di atas bila dikonstruksikan dengan OTT KPK terhadap AMN dan AZR pertanyaan lebih lanjut adalah, apakah KPK melakukan upaya berupa perangkap, tipu muslihat atau menjadikan AMN dan AZR seharusnya tidak melakukan tindak pidana korupsi tetapi merekayasa hal tersebut seakan-akan AMN dan AZR telah melakukan tindak pidana korupsi? Maka jika kita betul-betul mencermati dan menyimak dengan seksama konferensi pers KPK yang dibacakan oleh Nurul Gufron tentu maksud penjebakan itu dengan segala turunan katanya tidak ditemukan dalam kasus AMN dan AZR.Melainkan tindakan yang dilakukan oleh KPK adalah mengikuti alur percakapan antara AZR dan AMN yang berujuang pada tangkap tangan beserta barang buktinya. Dengan kata lain, OTT hanyalah bagian dari langkah konkret dari adanya bukti permulaan yang cukup yang diperoleh dari hasil penyadapan. Apalagi penyadapan itu letaknya pada penyelidikan dan penyidikan.In casu, penyadapan dilakukan dalam tingkat penyelidikan sehingga dari bukti percakapan antara AZR dan AMN itu dianggap akan menjurus ke peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana korupsi suap sehingga dilakukan OTT yang statusnya ditingkatkan menjadi penyidikan dan berujung pada penetapan tersangka. Dengan demikian, sangat sulit menerima tindakan OTT KPK adalah bagian dari penjebakan yang dimaksudkan sehingga argumentasi yang menyatakan bahwa OTT KPK terhadap AMN dan AZR adalah bagian dari penjebakan telah menggunakan konstruksi berpikir yang keliru, terlalu terburu-burudan tidak memiliki dasar argumentasi yang jelas.

Kelima, menyatakan OTT bukanlah bagian dari pengertian tangkap tangan di dalam KUHAP sehingga menimbulkan kekosongan norma hukum. Penulis sependapat jika tidak ada aturan baku yang mengatur tentang OTT secara expresive verbis.Namun demikian Penulis berpendapat bahwa OTT hanyalah merupakan suatu istilah yang digunakan oleh KPK sebagai bagian dari upaya penindakan tindak pidana korupsi.KPK sebenarnya juga tidak memiliki kewajiban sedikitpun untuk menamai tindakan itu sebagai “OTT” dapat saja dinamakan operasi itu dengan istilah “Operasi Senyap, Operasi Luar Biasa” dan sebagainya.Hanya karena istilah ini sudah familiar kemudian dipertanyakanlah legalitasnya.

Secara harfiah, arti kata “Operasi” menurut KBBI diartikan sebagai “pekerjaan, gerakan, tindakan, atau aksi yang dilakukan secara fisik dan terpimpin dengan waktu singkat, pelaksanaan rencana yang dikembangkan” (KBBI Kemendikbud).Sehingga bila istilah Operasi dan Tangkap Tangan yang dimaksud di dalam KUHAP disatukan menjadi Operasi Tangkap Tangan maka sejatinya hanya menunjukkan pemaknaan akan suatu tindakan terhadap tangkap tangan itu sendiri yang mana hal itu tidak merubah substansi dari tertangkap tangan sebagaimana yang dimaksudkan di dalam Pasal 1 angka 19 KUHAP dengan kata lain tidak out of context. Sebagai suatu interpretaion clause hal yang paling mendasar dalam menyusunnya adalah “tidak berada diluar konteks” (Asshiddiqie, 2010).Dengan demikian Penulis konsisten berpendapat bahwa istilah OTT KPK sejatinya tidak memiliki perbedaan mendasar dengan tangkap tangan di dalam KUHAP.

Keenam, menyatakanKPK harus mengedepankan prinsip due process model dan asas praduga tidak bersalah.Perlu diketahui bahwa dalam criminal justice systemsetidaknya ada 2 bentuk yang dibagi oleh Packer meskipun bukanlah Packersebagai pencetus pertama isitlah criminal justice systemitu.Teori Packer ini sudah banyak dikritik oleh pakar hukum pidana bahkan beberapa negara telah meninggalkan dan memodifikasi sistem yang dibangun oleh Packer dalam perkembangan ilmu pengetahuan.

Dua bentuk oleh Packer itu adalahcrime control model dan due process of law. Pada prinsipnya crime control modelmenekankan pada aparat penegak hukum menindak pelaku kriminal dalam hal ini bertindak represif sedangkan due process model menekankan pada terjaminnya hak asasi manusia dalam proses pemerikasaan oleh aparat penegak hukum bertindak preventif. Konsekuensi dari crime control model berupa tindakan represif dari aparat penegak hukum itu maka berlakulah asas presumtion of guilty atau praduga bersalah yang mana pada pokoknya diartikan bahwa seseorang tetap dianggap bersalah meskipun belum ada putusan pengadilan yang menyatakan dia bersalah. Sedangkan konsekuensi dari due process model yang menekankan pada hak asasi manusia maka berlakulah asas presumtion of innocence atau praduga tidak bersalah yang mana pada pokoknya diartikan seseorang dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan dia bersalah.

Pertanyaan lebih lanjut, bagaimana dengan KUHAP kita?Sistem mana yang digunakan? KUHAP sebagai hukum pidana formil disusun berdasarkan sistem crime control model yang mana mengedepankan penindakan, represif, asas praduga bersalah dan juga mengutamakan kecepatan beracara. Akan tetapi.KUHAP juga memberikan jaminan terhadap hak-hak kepada Tersangka sebagai pengejawantakan dari due process model. Dengan kata lain, aparat penegak hukum dalam melakukan penindakan terhadap pelaku tindak pidana tetapi wajib kiranya memperhatikan hak-hak yang melekat padanya.

Berdasarkan hal tersebut, sehingga memaksa penegak hukum dalam hal ini KPK menggunakan prinsip asas praduga tidak bersalah adalah cara berpikir yang keliru dan tidak memahami kedudukancriminal justice system secara sempurna khususnya perbedaan antara crime control model dan due process model. Memaksa pemikiran aparat penehak hukum dalam hal ini KPK menggunakan prinsip asas praduga tidak bersalah juga bertentangan dengan maksud pembentukan KUHAP.Konsekuensi dianutnya crime control model di dalam KUHAP adalah menjadikan aparat penegak hukum yang bertugas sebagai penyelidik dan penyidik untuk mengedepankan asas praduga bersalah berdasarkan bukti permulaan yang cukup yang diperolehnya atau telah diduga keras orang itu telah melakukan suatu tindak pidana. Pengejawantahan asas praduga bersalah itulah yang kemudian diwujudkan dengan tindakan  penahanan.

Secara a contrario, kita bisa membayangkan bagaimana jika aparat penegak hukum kita Kepolisian, Kejaksaan dan KPK memiliki pemikiran asas praduga tidak bersalah.Maka terhadap pelaku pembunuhan, pencurian, pencabulan, terorisme, korupsi, narkotika, genosida, kejahatan ham berat dan kejahatan lainnya tidak perlu ditindaki dan tidak perlu dilakukan penahanan karena mereka masih dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan hakim yang menyatakan dia bersalah lalu dibiarkan begitu saja berkeliaran ditengah masyarakat.Tentu saja jika paradigma ini digunakan oleh aparat penegak hukum maka akanmengancam stabilitas keamanan dan ketertiban di dalam masyarakat. Dengan demikian,in casu memaksa KPK mengedepankan asas praduga tidak bersalah adalah tidak tepat dan tidak sesuai dengan maksud pembentukan KUHAP.

Ketujuh, terkait dengan konteks penyadapan.Penyadapan sejatinya adalah bertentangan dengan HAM karena melanggar privasi seseorang.Tetapi diskusi itu telah selesai dengan dibolehkannya penyadapansecara limitatif.Lahirnya Dewan Pengawas (Dewas) KPK sebagai konsekuensi diundangkannya UU KPK baru adalah juga bagian dari kontrol penggunaan kewenangan penyadapan.

Sebagai konsekuensi lahirnya UU KPK baru, dalam melakukan upaya penyadapan oleh KPK harus mendapatkan lebih dulu izin dari Dewas KPK paling lama 1×24 jam sejak dimintakan secara tertulis. Setelah mendapatkan izin dari Dewas KPK, maka limitasi waktu penyadapan itu hanya berlaku selama 6 bulan tetapi dapat diperpanjang 1 kali dengan jangka waktu yang sama. Dengan kata lain, limitasi waktu penyadapanadalah selama 1 tahun. Untuk itu, argumentasi yang menyatakan bahwa tidak terdapat izin Dewas saat melakukan penyadapan jika melihat limitasi keberlakuan penyadapan tersebut sangat sukar diterima.

***

Diskusi Pro-Kontra OTT oleh KPK bukanlah baru berlangsung sekarang, jauh sebelum hari ini diskusi OTT KPK sudah larut dan dikupas dari perspektif masing-masing pihak.Tetapi pada pokok diskusi itu setidaknya beberapa point telah ditengahi dengan lahirnya UU KPK baru.Sebagai penutup, Penulis sendiri berpendapat bahwa penyadapan yang merupakan pangkal lahirnya OTT oleh KPK masih sangat dibutuhkan dalam rangka melakukan penindakan tindak pidana korupsi di Indonesia. Setidaknya ada 2 alasan menurut pertimbangan Penulis, yaitu:

Pertama, penyadapan sangat efektif digunakan untuk membongkar kasus-kasus bribery.Karena tindak pidana korupsi yang tergolong dalam bribery selalu dilakukan dalam keadaan yang terselumbung, sembunyi-sembunyi, melibatkan orang-orang yang memiliki kekuasaan bahkan tidak jarang dilakukan dengan modus operandi yang canggih.Oleh karena dilakukan dalam keadaan yang terselubung dan sembunyi-sembunyi itu maka untuk melakukan penilaian secara objektif terjadinya suatu tindak pidana korupsi sangat sulit sekali dijangkau sehingga perlu mekanisme khusus berupa penyadapan untuk bisa mamasuki ruang-ruang tersembuyitersebut.Hal ini jelas berbeda bila dibandingkan dengan tindak pidana korupsi kerugian keuangan negara atau perekonomian negara yang mana secara tidak langsung sebenarnya tidak perlu melakukan penyadapan karena penilaian secara objektif terjadinya suatu tindak pidana korupsi bisa dilihat secara langsung dari akibat yang ditimbulkan.Misalnya proyek pembangunan rumah, jalan, bendungan dan sebagainya yang mark up, tidak selesai pada waktu pengerjaannya.Itu semua bisa dipandang secara objektif bahwa terdapat indikasi kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.

Kedua, penyadapan masih perlu dipertahankan dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia karena melihat bentuk dan karakteristik tindak pidana korupsi yang melibatkan orang-orang yang memiliki kekuasaan white collar crime, dilakukan secara sistemikapalagi akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana korupsi yang betul-betul sangat memberi dampak baik dari segi ekonomi, sosial, politik dan budaya. Korupsi menjadi issue penting tidak saja di Indonesia tetapi secara internasional. Korupsi dianggap sebagai suatu penyakit kronis yang mesti dilawan dan perlu disembuhkan.Untuk itu, karena korupsi sudah menjadi musuh bersama oleh masyarakat internasional dengan bentuk, karakter serta akibat yang ditimbulkannya korupsi dijadikan sebagai kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime).Sebagai extraordinary crime maka dipandang perlu dalam hal penindakannya dilakukan dengan cara yang luar biasa pula. Tegasnya, corruption is extraordinary crime must be done with extraordinary measures.Hal ini pula sejalan dengan pertimbangan masyarakat internasional yang dituangkan di dalam United Nation Against Corruption yang menyebutkan “that the availability of technical assistence can play an important role in enhancing the ability of States including by strengthening capacity and by institution-building, to prevent and combat corruption effectively”.

Wallauhu a’lam bishawab.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *