PENASULTRA.COM, JAKARTA – Rencana pemerintah mempercepat pelarangan ekspor bijih nikel (ore) dari semula 2022 menjadi 2020 masih saja menuai pro dan kontra.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey menilai, percepatan larangan ekspor tersebut terkesan pemerintah tak mengizinkan pengusaha nasional membangun smelter atau hilirisasi.
Harusnya, menurut dia, pemerintah konsisten dengan keputusan relaksasi ekspor pada 2017. Yakni, perusahaan nikel masih dibolehkan ekspor asal pembangunan smelter sudah berjalan dan bisa selesai pada 2022.
“Karena kita sudah mulai membangun malah dihentikan. Artinya pemerintah dalam hal ini hanya mendukung investasi asing,” ujar Meidy pada Penasultra.com, Senin 18 November 2019.
Dengan adanya percepatan pelarangan ekspor, kata Meidy, akan membuat penambang mengalami kerugian dalam hal investasi, baik perluasan areal, penambahan alat, termasuk demorit tongkang.
Di sisi lain, dari sektor pendapatan tentu berpengaruh pada penerimaan daerah dalam hal ini royalti maupun biaya keluar. Sebab, menurut Meidy, kewajiban penambang akan ekspor harus membayar biaya keluar sebesar 10 persen, royalti 5 persen dan pungutan pajak penghasilan (PPh) ore 1,5 persen.
“Dari 16,5 persen ini kan ada pembagian ke daerah. Tapi, pembagiannya kami tidak tahu antara pusat dan daerah,” katanya.
Olehnya itu, Meidy menegaskan agar pemerintah konsisten dalam membuat peraturan. Jangan terlalu banyak dan jangan pula berubah-ubah sehingga investor baik asing maupun lokal tidak ragu berinvestasi di Indonesia.
“Harus ada koordinasi yang baik antara pemerintah daerah maupun pemerintah pusat termasuk antar Kementerian,” pungkasnya.(a)
Penulis: Yeni Marinda
Editor: Ridho Achmed