Oleh: Ahmad Sadikin
Perbincangan politik di musim politik adalah hal yang lumrah, maka tak heran isu yang paling seksi untuk menjadi perbincangan adalah isu politik. Apalagi sudah ditemani secangkir kopi dan sebungkus rokok. Hmm.. Indonesia bahkan terlalu kecil untuk dibahas.
Belakangan ini, hambar rasanya jika ngopinya hanya di kamar kos atau di rumah, serasa tak mendapatkan fantasinya. Kebanyakan dari kita lebih memilih janjian bersama teman lalu ngopi di luar. Dan Warung Kopi adalah pilihan.
Warung kopi adalah ruang publik, dimana kebebasan untuk berbicara dan menuangkan pikiran tak ada larangan. Di situ kita tidak akan dibubarkan oleh polisi atau security kampus. Kritiklah sesukamu, berbicaralah sesukamu, selagi tak ada delik yang terlanggar.
Tak perlu nonton TV atau membaca koran untuk bisa update, karena di Warung Kopi semua peristiwa dan kejadian terdengar. Mulai dari perceraian Gading Martin dan Gissella Anastasya, sampai pernikahan Syahrini dan Reyno Barack yang berimbas kepada rapuhnya hati seorang Luna Maya, wkkwkwk. Bahkan isu jika Jokowi keturunan PKI dan Prabowo di backup HTI pun tak luput dari perbincangan di Warung Kopi.
Berawal dari diskusi ringan diseruput kopi pertama, akan berakhir pada perdebatan siapa mendukung siapa dihisapan rokok pertama. Disinilah Politik Warung Kopi berjalan, kita akan bertarung ide dan menjatuhkan ide lain yang tak masuk akal, memuji kebijakan dan mengkritisi kebijakan yang lain, mengangkat kehebatan calon dan menjatuhkan calon lain yang dianggap keliru.
Budaya membahas politik di Warung Kopi, membuat akhir-akhir ini sangat sering kita jumpai caleg-caleg dengan rombongannya di Warung Kopi. Sebenarnya bukan karena hanya ingin ngopi, disisi lain caleg ingin mengeluarkan gagasannya dan berinteraksi dari berbagai karakter yang sedang menikmati kopi, sembari berharap mendapat simpati dari pengunjung.
Untungnya, sejauh ini belum pernah kita dapatkan perkelahian di Warung Kopi karena pembahasan politik, perdebatan mungkin banyak. Itu artinya, memang Warung Kopi adalah ruang dimana publik bisa mendengarkan, bahkan ikut terlibat secara aktif tanpa ragu dalam mengeluarkan pendapat.
Tidak jarang juga, para politisi akhirnya menjadikan Warung Kopi sebagai tempat mereka berkampanye, melakukan lobi-lobi politik, bahkan menemui konstituen tanpa ada rasa takut. Seolah Warung Kopi adalah tempat bagi orang yang menginginkan kebebasan.
Tak hanya caleg, capres dan cawapres pun tak luput dari politik Warung Kopi. Setelah Cawapres Sandiaga Uno menemui tim relawannya di Kopi Kita Kendari, Senin, (24/12/2018) guna berdialog tentang konstalasi politik yang ada di Sultra. Tiga bulan berikutnya giliran Capres Petahana Joko Widodo, yang menggelar pertemuan di Warkop Haji Anto, pada Jumat, (1/3/2019) yang bertajuk ngobrol pintar bersama para pendukungnya.
Macam-macam pembicaraan pun bisa terjadi di Warung Kopi, dari yang paling umum sampai ke daerah privatpun bisa dibuka luas dan dibahas secara gamblang. Karena tempat menawarkan kebebasan, dosa pun tak jadi masalah. Hehehehe…
Realitas hari ini, rata-rata pengunjung Warung Kopi seolah tidak lagi candu pada kopinya, melainkan terpanggil karena diskusinya. Warung Kopi telah dijadikan sebagai media komunikasi politik oleh pengunjung, tim relawan, caleg, sampai capres.
Semakin banyak Warung Kopi yang berdiri, semakin mewabah pula ruang-ruang publik yang menawarkan kebebasan. Karena di Warung Kopi ide-ide cemerlang tertuang tanpa ada intervensi, dan hanya di Warung Kopi perdebatan tanpa pertikaian terjadi.
Jika kebebasan berfikir dan berpendapat sudah sulit didapatkan diruang-ruang kuliah akibat birokrasi yang sudah membatasi ruang gerak mahasiswa, maka tak salah jika Warung Kopi jadi tempat menuangkan pikiran dan pendapat sebagai kampus ke-dua.
Andai benar politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama, kata Bang Aristoteles, maka membahasnya bersama di Warung Kopi sepertinya seru kawan.(***)
#Ayo Ngopi
Penulis: Mahasiswa Prodi Ilmu Politik Universitas Halu Oleo Angkatan 2014