Rakyat Dijerat Pajak, SDA Dilepas Tanpa Hak

Oleh: Sartinah

Pajak merupakan instrumen utama yang menopang pemasukan APBN negeri ini. Karena itu, demi memaksimalkan pemasukan dari sektor pajak, pemerintah terus mencari celah agar setiap objek bisa berkontribusi untuk menambah anggaran. Slogan “warga negara yang baik taat pajak” pun terus diopinikan. Alhasil, meski ekonomi rakyat sekarat, pungutan pajak tak bisa diganggu gugat.

Pemerintah dan DPR pun telah menyepakati kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar sebelas persen pada April 2022 mendatang. Kebijakan ini sejalan dengan disahkannya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Kemudian tarif tersebut akan kembali naik sebesar dua belas persen pada 2025. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. (kompas.com, 7/10/2021)

Tidak hanya rencana menaikkan PPN, UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) juga telah menambah fungsi Nomor Induk Kependudukan (NIK) menjadi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Neilmaldrin Noor mengatakan, pengenaan pajak akan dilakukan jika pemilik NIK telah memenuhi syarat subjektif (termasuk sebagai objek pajak) dan objektif (memperoleh penghasilan setahun di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak. (kompas.com, 10/10/2021)

Strategi Mengejar Berbagai Varian Pajak

Sebagaimana negara-negara penganut kapitalisme lainnya, negeri ini pun menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan negara. Bahkan, menjadi sumber utamanya. Selain pajak, ada pula sumber pemasukan lainnya dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), serta hibah. Sayangnya, meski memiliki tiga sumber pemasukan, nyatanya anggaran tersebut tetap tidak mencukupi untuk membiayai belanja negara. Terlebih di masa pandemi, penerimaan negara terus menurun.

Misalnya saja pada 2020, penerimaan dari sektor pajak mencapai Rp1.070 triliun, turun 19,7 persen dibanding tahun sebelumnya (kata data.co.id, 11/6/2021). Defisit anggarannya pun mencapai Rp219,3 triliun pada bulan Juni 2021. Karena itu, pemerintah akhirnya membuat berbagai strategi demi menambah pundi-pundi kas negara.

Pertama, menerapkan tiga skema tarif PPN, yakni menaikkan PPN menjadi dua belas persen yang sebelumnya sebesar sepuluh persen. Juga pengenaan tarif berbeda 5-15 persen untuk barang dan jasa tertentu. Dan pengenaan tarif nol persen untuk barang dan jasa ekspor.

Kedua, membuat kebijakan Tax Amnesty (pengampunan pajak) jilid II. Kebijakan ini diambil pemerintah karena beberapa alasan, yakni untuk menarik dana WNI di luar negeri dan meningkatkan basis perpajakan nasional sehingga dapat menaikkan penerimaan pajak. Selain itu, untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak, serta membantu dunia usaha. Sayangnya, kebijakan ini dinilai hanya menguntungkan segelintir orang-orang yang sangat kaya di negeri ini.

Ketiga, pengenaan tarif PPH atas perusahaan yang merugi, dengan jumlah minimum satu persen dari penghasilan bruto. Keempat, mengganti sanksi pidana terhadap pengemplang pajak dengan administrasi atau denda. Strategi tersebut diharapkan mampu menutup kekurangan anggaran dari sektor pajak.

Kapitalisme Melanggengkan Derita Rakyat

Berbagai kebijakan pungutan pajak ternyata berbanding terbalik dengan kebijakan pemerintah yang merevisi pengelolaan harta milik publik, berupa SDA. Rakyat terus dikejar-kejar iuran, bahkan sampai ke lubang semut sekalipun. Tujuannya, tentu agar tidak ada individu atau objek harta yang bisa lepas dari pajak. Padahal, kebijakan menaikkan pajak bisa berdampak buruk terhadap pertumbuhan ekonomi. Harga barang akan semakin melonjak, sementara  daya beli masyarakat semakin anjlok. Mengapa pemerintah terus saja membebani rakyat dengan bermacam-macam pajak?

Jika rakyat terus dibebani berbagai pungutan pajak, pemerintah justru memberi karpet merah untuk para kapitalis. Misalnya saja dengan menerbitkan berbagai undang-undang yang berpihak pada para pemilik modal. Seperti UU Migas, UU Minerba, dan lain-lain. Akibatnya, rakyat kehilangan hak untuk menikmati kekayaan alam yang memang menjadi haknya. Sudahlah tak bisa menikmati sumber daya alam, kini dijerat pula dengan berbagai varian pajak yang mencekik.

Inilah fakta miris hidup dalam asuhan kapitalisme. Pengurusan negara yang kapitalistik menjadikan harta kekayaan alam yang melimpah hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. Sistem pokitiknya melegalkan penguasaan SDA oleh swasta ataupun asing. Sistem ekonominya pun rapuh karena ditopang oleh pajak dan utang. Karut-marut pengelolaan negara yang kapitalistik, seiring sejalan dengan penerapan ideologi kapitalisme yang rusak.

APBN Islam tak Bergantung Pada Pajak

Islam hadir di tengah-tengah manusia untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. Penerapan syariat secara kafah benar-benar menjadi model terbaik pengurusan rakyat. Di dalamnya lahir berbagai kebijakan yang semata-mata berasas pada kemaslahatan, bukan kepentingan. Termasuk bagaimana mengelola APBN yang tangguh.

APBN dalam Islam dikenal dengan baitulmal, yakni pos yang mengatur pemasukan dan pengeluaran negara. Sumber pemasukan baitulmal pun sangat besar. Namun, tidak bergantung pada pajak sebagai sumber pemasukan utamanya. Negara akan mengelola seluruh sumber daya alam sebagai sumber pendanaan baitulmal tanpa membebani rakyat dengan pajak.

Setidaknya ada tiga pos pemasukan negara yang dikelola oleh baitulmal. Pertama, dari pos fa’i dan kharaj yang terdiri dari ghanimah, kharaj, status tanah, jizyah, fa’i, dan pajak (dharibah). Meski ada pungutan pajak, tetapi penarikannya hanya bersifat sementara. Negara hanya akan memungut pajak kepada kaum muslim yang mampu saja. Itu pun jika kas baitulmal benar-benar kosong. Jika baitulmal sudah stabil, maka pajak otomatis dihentikan.

Kedua, bagian pemilikan umum yang merupakan tempat mencatat dan menyimpan harta milik umum. Pos ini terdiri dari minyak dan gas, pertambangan, listrik, perairan, laut, sungai, hutan, dan padang (rumput) gembalaan. Pengelolaan dari pos ini wajib dilakukan oleh negara dan tidak boleh diserahkan kepada swasta maupun asing. Hasil dari pengelolaan harta ini dikembalikan kepada rakyat, bisa dalam bentuk langsung maupun tidak langsung.

Ketiga, pos sedekah yang mengelola zakat uang dan perdagangan, pertanian dan buah-buahan, ternak unta, sapi dan kambing. Pengeluaran pos ini hanya diperuntukan bagi delapan asnaf, dan tidak boleh untuk selainnya.

Dengan pengelolaan maksimal di bawah tuntunan wahyu Allah Swt., sistem ekonomi islam mampu menopang pembelanjaan negara dan mewujudkan kesejahteraan rakyat secara merata. Sudah saatnya umat menghentikan penghambaan terhadap sistem rusak kapitalisme dan beralih menjadikan Islam sebagai solusi.

Wallahu ‘alam bishshawab

Penulis adalah pemerhati masalah publik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *