Representasi Perempuan dan Identitas Kelokalan Sulawesi Tenggara

Pena Opini813 views

Oleh: Salebaran

Rekonstruksi Sejarah Nasional Indonesia hingga saat ini terus dilakukan para sejarawan, meskipun telah ada buku Sejarah Nasioanal Indonesia dengan jumlah 6 jilid yang dihasilkan Orde Baru. Hal ini disebabkan karena masih adanya sumber-sumber sejarah yang memiliki nilai sejarah tidak ditempatkan dalam buku ini. Hal inipun dikatakan oleh S. Hamid Hasan dalam buku ‘Sejarah Yang Memihak: Mengenang Sartono Kartodirjdo’ bahwa buku Sejarah Nasional Indonesia tahun 1975 masih memerlukan kajian yang panjang dan mendalam (M. Nursam, dkk, 2008: 404).

Dalam penulisan sejarahpun seringkali digunakan untuk merepresentasikan sejarah bangsa sesuai apa yang dikehendaki pengguasa, sehingga menjadikan peristiwa-peristiwa penting lainnya tidak terekonstruksi dalam tulisan sejarah nasional ataupun dalam materi pelajaran sejarah di tingkat pendidikan formal. Maka, untuk menemukan penulisan sejarah yang seragam adalah pekerjaan yang sulit untuk ditemukan, lebih-lebih untuk menemukan representasi perempuan dalam sejarah nasional, sebagaimana yang terjadi dalam penulisan Sejarah Nasional Indonesia (SNI).

Minimnya dokemen, arsip, dan bukti-bukti lainnya tentang perempuan, menjadikan para sejarawan tempatan engan untuk melakukan rekonstruksi sejarah perempuan, sehingga bukan hal yang baru karya-karya ilmiah tentang perempuan dalam sejarah jarang ditemukan pada rak-rak buku perpustakaan. Hal demikian, disebabkan sumber sejarah telah didominasi sejarah politik, ekonomi, budaya, ataupun sejarah militer yang dianggap sebagai ruang untuk sejarah laki-laki tidak bagi perempuan. Sebagaimana yang katakan oleh Bambang Purwanto dalam bukunya ‘Gagalnya Historiografi Indonesiasentris!?’ bahwa perempuan seolah-olah tidak pernah ada dalam proses menyejarah Indonesia. Kalaupun perempuan ada didalam sejarah Indonesia, hal itu hanya hanya sekedar menghadirkan wanita sebagai objek yang ada pada masa lalu, bukan masa lalu dilihat dengan perspektif kewanitaan (2006: 30-31). Penjelasan diatas, menegasikan bahwa perempuan akan selalu menjadi second sex selama ia berada dalam ruang yang sangat partriarkhi.

Ketika menelisik sejarah perempuan di Indonesia, maka ingatan kolektif bangsa ataupun warga negara melekat pada Cut Nyak Dien, Cut Mutiah, R. A Kartini, Dewi Sartika, Nyonya Rahma El Junusia sebagai srikandi-srikandi ‘hebat’ yang menempatkan perempuan dalam Sejarah Nasional Indonesia. Kehadiran para tokoh diatas dalam Sejarah Nasional Indonesia bukan hal yang final untuk kaum perempuan, masih banyak peristiwa-peristiwa lokal yang menunjukan resistensi peran perempuan dalam sejarah. Sebagai contoh perempuan yang mendiami Jazirah Sulawesi Tenggara turut andil dalam menjaga kedaulatan wilayahnya dari pengaruh imperealisme dan kolonialisme, maupun kemampuan dalam menjalankan roda pemerintahan di masa lalu.

Representasi Perempuan Dalam Identitas Kelokalan Sulawesi Tenggara

Paruh kedua abad 21 ini, kehadiran perempuan dalam sejarah masih dianggap sebahai hal yang ‘baru’, karena sejarah masih didominasi peran laki-laki. Meskipun terjadi pendominasian dalam penulisan, tidak menjadikan peran perempuan dalam sejarah menjadi kabur. Hal demikian, terlihat disaat melakukan garapan pada sejarah perempuan di Jazirah Sulawesi Tenggara.

Pertama, Wekoila. Berdasarkan cerita lisan pemerintahan di Kerajaan Konawe telah ada sejak To Lahianga, namun Kerajaan Konawe baru terbentuk saat kehadiran Wekoila (seorang putri) di Pandangguni yang mampu menyatukan tiga kerajaan yakni Kerajaan Padangguni, Kerajaan Wawolesea, dan Kerajaan Besilutu (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978/79: 5). Kemampuan Wekoila menggabungkan ketiga wilayah ini, kemudian ia diakui sebagai Mokole More I Konawe. KehadIran Wekoila di Konawe diperkirakan pada tahun 1150 M dan diduga berasal dari Kediri (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978/79: 29). Dalam menjalankan roda pemerintahan Mokole More I Konawe dibantu oleh seorang Wati sebagai Perdana Menteri. Adapun wilayah pemerintahannya meliputi daratan Sulawesi Tenggara kecuali Kerajaan Mekonga (wilayah Kolaka saat ini) dan Moronene.

Kedua, Wa Ode Wakelu. Kemampuan Wa Ode Wakelu dalam menjalankan roda pemerintahan di Kerajaan Muna pada tahun 1652-1655 perlu dieksplorasi kedalam memori kolektif masyarakat sebagai bentuk identitas kelokalan. Kehadiran Wa Ode Wakelu dalam trah kepemimpinan Kejaraan Muna, karena Raja Muna La Ode Kaindea (Sangia Langkariri) menolak untuk menjalin persahabatan dengan Belanda sehingga La Ode Kaindea diasingkan ke Ternate oleh pihak Belanda (Husein A. Chalik, ddk, 1983/84 :68-69). Dengan demikian, roda pemerintahan dijalankan oleh istrinya yakni Wa Ode Wakelu. Atas kelihaian Wa Ode Wakelu dalam berdiplomasi dengan Sultan Buton dan pihak VOC, La Ode Kaindea dikembalikan setelah diasingkan selama tiga tahun dan kembali mengemban jabatannya sebagai Raja Muna (Husein A. Chalik, ddk, 1983/84 :75).

Ketiga, Eke. Sejarah perjuangan Raja Sangia Dowo bagi masyarakat Moronene tentu memiliki tempat tersendiri. Peristiwa genjatan senjata tahun 1911 antara pasukan Raja Sangia Dowo dan pasukan Belanda dipimpin Kapten De Jonge tidak lain disebabkan keinginan Belanda untuk menduduki Kerajaan Moronene sehingga menumbuhkan kesadaran masyarakat lokal untuk menolak kedatangan Belanda (Husein A. Chalik, ddk, 1983/84 :29). Uniknya, kebangkitan kesadaran masyarakat Moronene mempertahankan diri dari penguasaan Belanda tidak lepas dari tokoh penting yaitu Eke (adik perempuan Raja Sangia Dowo) sebagai salah satu pelopor untuk mengusir Kolonial Belanda di daerah Kejaraan Moronene.

Tiga tokoh perempuan diatas merupakan bentuk representasi perempuan dalam sejarah yang selama ini tidak mendapatkan tempat pada pembelajaran sejarah. Untuk itu, perlu untuk diakomodasi kedalam memori kolektif masyarakat guna untuk membentuk identitas kelokalan yang ‘seimbang’ pada genarasi muda Sulawesi Tenggara melalui proses pebelajaran pendidikan sejarah dan cerita sejarah.

Guru Sejarah Sebagai Pembentuk Identitas Kelokalan

Penulis telah sampaikan diawal tulisan ini, bahwa penulisan sejarah bangsa sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh penguasa. Maka untuk menyeragamkan peristiwa sejarah dalam sejarah nasional adalah pekerjaan yang sulit untuk dilakukan. Untuk itu, guru sejarah merupakan aktor terpenting untuk mengeksplorasi peristiwa-peristiwa lokal dalam pendidikan formal, khususnya peristiwa yang telah dipinggirkan seperti sejarah perempuan untuk diakomodasi kedalam pelajaran sejarah, karena tidak mendapatkan ruang dalam pelajaran sejarah nasional yang dihasilkan oleh pemerintah pusat. Untuk itu, guru sejarah memiliki peran yang sangat strategis untuk memupuk kembali peristiwa-peristiwa sejarah yang dipinggirkan dalam pendidikan formal.

Penguatan identitas melalui pelajaran sejarah merupakan hal yang sangat efisien, menginggat perkembangan arus globalisasi yang semakin mempengaruhi kehidupan genarasi saat ini. Untuk itu, pendidikan sejarah merupakan wahana bagi genarasi muda untuk melakukan identifiakasi dirinya sebagai anggota dari bangsanya. Maka, dalam pendidikan formal, guru sejarah perlu menyampaikan materi-materi pelajaran sejarah secara menyeragam guna untuk mengembangkan memori kelektif genarasi muda untuk memahami dirinya sebagai anggota dari bangsanya. Mengingat terjadinya kegagalan dalam pembentukan memori kolektif tehadap generasi muda akan menimbulkan ketegangan-ketegangan dilingkungan sosial baik antara individu satu dengan individu lain, maupun kelompok satu dengan kelompok lainnya. Oleh sebab itu, guru sejarah di daerah Sulawesi Tenggara perlu menanamkan pemahaman sejarah lokal khususnya sejarah perempuan kepada generasi muda untuk mereduksi terjadinya disintegrasi dalam lingkungan sosial yang ada diwilayahnya, serta menangkal terjadinya diskirminasi gender.

Pada kondisi inilah, guru sejarah memiliki peran penting untuk membentuk identitas kelokalan pada genarasi muda melalui pemahaman pada peristiwa sejarah yang seragam. Hal demikianpun ditekankan oleh Sartono Kartodirdjo bahwa setiap peristiwa penting suatu daerah perlu untuk dieksplorasi kedalam pelajaran sejarah, sekalipun peristiwa tersebut tabu bagi suatu daerah. Sartono Kartodirdjo melanjutkan sejarah itu harus disampaikan apa adanya, meskipun subjektivatas itu ada pada setiap peristiwa (dalam M. Nursam, dkk, 2008). Untuk itu, menjadi guru sejarah adalah profesi yang sangat sulit untuk dilakukan mengingat masih banyak peristiwa nasional, maupun peristiwa lokal yang perlu diedukasikan kepada genarasi muda saat ini.

Meskipun, banyak rintangan yang dihadapi guru khususnya guru sejarah dalam pembelajaran, J. C Tukiman Taruna dalam bukunya ‘Siklus Masalah Pendidikan (Indonesia)’ menekankan bahwa menjadi seorang guru perlu memiliki sifat yang inovatif, kreatif, dan kemauan untuk terus belajar (2019). Maka kemudian, menjadi pertanyaan besar penulis, apakah guru sejarah di Sulawesi Tenggara telah memberikan pemahaman sejarah yang seragam kepada genarasi muda untuk menganal jati dirinya ataukah guru sejarah engan untuk melakukannya mengingat pelajaran sejarah telah memiliki materi sesuai dengan kurikulum pembelajaran? Waallahu allam.

Penulis adalah alumni Ilmu Sejarah FIB UHO

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *