PENASULTRA.COM, BOMBANA – Kondisi PT. Surya Saga Utama (SSU) yang beroperasi di Desa Tedubara, Kecamatan Kabaena Utara, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara (Sultra) saat ini sungguh sangat memprihatinkan. Dilema, terasa tak berdaya.
Akibat kondisi yang semakin kritis dan kompleks, pihak managemen akhirnya memutuskan untuk menghentikan operasional pabrik pemurnian ore nikel atau smelter sejak 8 November 2018 lalu. Sejak saat itu semua karyawan di rumahkan dan semua tenaga kerja asing (selain managemen inti) dipulangkan ke negaranya masing-masing.
Awal carut marut pengelolaan perusahaan berbendera Rusia tersebut sempat terendus saat Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Tenggara (Sultra) resmi menandatangani kerjasama dengan China Great Wall Group Holdings Company Limited. Kerjasama di bidang investasi sumber daya alam (SDA) ini dilakukan di Kantor Gubernur Sultra pada Senin 15 Oktober 2018 lalu.
Sinyalemen itu dihembuskan Kepala Biro Kerjasama Pemprov Sultra, Harmin Ramba. Kala itu, Harmin mengatakan bahwa kerjasama untuk investasi Pemprov Sultra dengan Group Holdings Company Limited akan fokus pada empat sektor dan diyakini dapat membuka kran investasi lainnya masuk ke Sultra.
“Meski saat ini fokus di pertambangan, nantinya akan difasilitasi dengan pembuatan smelter di Kabaena yang ada sedikit masalah dan akan diakuisisi dengan PT. SSU yang berada di Kabaena Utara dalam waktu dekat,” kata Harmin kala itu.
Seakan tak mau ‘malu’ perusahaannya dianggap bangkrut dan bakal diakuisisi oleh pihak ketiga, Direktur PT. SSU, Kasra Munara pun dengan tegas membantahnya. Kata dia, PT. SSU sedang baik-baik saja. Tak ada masalah apa-apa.
Namun demikian, kata Kasra, soal akuisisi merupakan langkah paling terakhir jikalau managemen mengambil upaya penyelamatan terakhir atas aset yang ada saat ini.
“Kita fokus ke pembenahan teknologinya. Akuisisi mungkin pilihan paling terakhir,” kata Kasra, Sabtu 24 November 2018.
Menyikapi keadaan yang ada, menurut Kasra, manajemen PT SSU akan melakukan kajian teknis menyangkut kondisi smelter sehubungan dengan adanya usulan untuk modernisasi peralatan seperti merubah sistem dari Direct Reduction Rotary Kiln (DRRK) ke Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF).
Sistem yang baru ini membutuhkan Power Plant dengan kapasitas sekitar 50 MW. Nilai investasinya cukup besar. Semuanya ini tentunya membutuhkan waktu mulai dari engineering design, fabrication, installation dan commissioning.
“Kami perkirakan minimal sekitar 6 bulan. Untuk itulah kami perlu menghentikan operasional smelter untuk sementara waktu,” ungkap Kasra.
Dengan menggunakan RKEF, Kasra optimis pihaknya dapat meringkas proses produksi dengan mengeliminir tahapan proses yang ada di segment D yaitu magnetic separator, wet separator dan pressed filter.
“Bagian inilah yang menjadi pokok masalah,” terang dia.
Kasra mengungkapkan, dengan teknologi RKEF, PT SSU bisa menghasilkan logam ferro-nickel yang memiliki nilai ekonomi yang lebih bagus dibanding yang sekarang. Biji ferro nickel adalah salah satu komponen untuk pembuatan stainless steel (baja).
“Perlu kami jelaskan bahwa, PT SSU punya komitmen untuk membangun industri ferro-nickel yang handal. Walapun kami memiliki IUP OP dan memiliki kuota ekspor ore (bahan mentah) 3jt ton/tahun, selama ini kami hanya ekspor satu vessel (sekitar 55.000 ton),” tuturnya.
“Padahal ekspor ore bisa menghasilkan cash income yang cepat. Namun kami tidak ingin mengeksploitasi cadangan ore yang ada tanpa memperhatikan kebutuhan bahan baku untuk smelter ke depan dan tentunya termasuk aspek lingkungan hidupnya,” pungkas Kasra Munara.(a)
Penulis: Ridho Achmed