Taliban Bangkit, Perlukah Indonesia Waspada?

Pena Opini612 views

Oleh: Heru Noegraha

Afghanistan kembali dikuasi milisi Taliban pada Ahad, 15 Agustus 2021. Setelah hampir 20 tahun kaum Islamis ekstrim itu tersingkir dan bersembunyi di daerah-daerah pedalaman, kini mereka merebut kembali Afghanistan yang tak berdaya karena ditarik keluarnya pasukan keamanan Amerika Serikat dari wilayah penuh konfik itu.

Kita patut bersedih terutama membayangkan apa yang akan terjadi pada rakyat Afghanistan?

Kaum Taliban adalah mereka yang sepenuhnya percaya bahwa mereka harus menjalankan syariat Islam sesuai dengan keyakinan mereka tentang apa yang sudah ditetapkan Al-Qur’an. Dan karena kepercayaan itu mereka membawa malapetaka bagi rakyat Afghanistan.

Tapi kepedulian kita tak cukup berhenti pada apa yang akan terjadi di Afghanistan, melainkan juga pada apa yang akan terjadi di Indonesia.

Pertanyaannya, apakah kemenangan milisi Taliban akan kembali menguatkan semangat kelompok-kelompok yang berusaha menegakkan syariat yang menerapkan aksi terorisme di tanah air? penulis tentu saja berharap itu tidak akan terjadi dan kalaulah ada tanda-tanda ke arah sana, bangsa Indonesia harus secara bersama mencegahnya.

Kita harus sadar betapa berbahayanya gerakan terorisme yang berusaha menegakan syariat suatu agama di dalam negara yang menjunjung kebhinekaan. Untuk itu, marilah kita belajar dulu sejarah singkat Taliban.

Bagaimanakah Taliban Terdahulu? 

Taliban itu muncul pada tahun 1994 sebagai salah satu faksi terkemuka dalam Perang Saudara Afghanistan. Kata Taliban berasal dari kata talib atau siswa–mengingat mayoritas penggeraknya adalah para pelajar dari daerah Pasthun di Afghanistan Timur dan Selatan. Mereka merupakan siswa yang mendalami ilmu agama di sekolah-sekolah Islam tradisional, semacam madrasah.

Mereka pertama kali muncul saat dengan gigih berperang melawan Soviet yang mengintervensi Afghanistan pada 1978. Selama hampir 15 tahun para pejuang Islam Afghanistan dengan dukungan Amerika Serikat, Pakistan, dan Arab Saudi berperang melawan pemerintah Afghanistan yang didukung pemerintah Soviet.

Setelah Soviet diusir, Afghanistan mengalami perang saudara antar suku selama bertahun-tahun. Kaum Taliban akhirnya sukses menguasai Afghanistan pada 1996 dengan nama Emirat Afghanistan di bawah kepemimpinan Mohammed Omar.

Ibu kota Afghanistan pun dipindahkan dari Kabul ke Kandahar. Kekuasaan Taliban kemudian untuk sementara berakhir setelah Afghanistan diinvansi pasukan AS sebagai reaksi terhadap tragedi 11 September 2001. Namun Taliban tidak menyerah. Mereka menyingkir ke daerah-daerah pegunungan yang sulit dijangkau dan dari sana melancarkan aksi-aksi teror terhadap pemerintah Karzai yang didukung AS dan NATO.

Kaum Taliban memang nampak heroik ketika menghadapi kekuatan-kekuatan raksasa seperti Soviet dan Amerika Serikat. Namun tatkala mereka berkuasa, wajah mereka berubah menjadi penindas yang tak beradab.

Taliban menerapkan interpretasi secara keras syariat Islam yang dikombinasikan dengan tradisi dan nilai-nilai budaya Pashtun–daerah yang menjadi kampung halaman para penggerak Taliban. Mereka menganggap semua ayat Al-Qur’an harus diterapkan sesuai dengan teks yang tertera di dalamnya. Mereka menganggap interpretasi modern terdahap ayat Al-Qur’an adalah haram. Mereka tidak percaya pada lembaga, pada hukum, nilai perilaku modern yang dianggap sebagai sekadar karya manusia yang dikuasai Barat.

Kebrutalan Taliban dengan nyata terlihat ketika mereka berkuasa dari tahun 1996 hingga 2001, ataupun di daerah-daerah yang mereka kuasai setelah itu. Untuk mengatasi lawan, Taliban tak segan membantai warga sipil, melakukan kebijakan bumi hangus yang menghancurkan puluhan ribu rumah, atau membakar wilayah yang semula subur.

PBB melaporkan, selama berkuasa itu, pemerintah Taliban melakukan setidaknya 15 kali aksi pembantaian yang menewaskan ribuan warga sipil. Taliban mengharamkan banyak hal. Mereka melarang instrumen musik, melarang lukisan, melarang film, atau foto yang menampilkan mahkluk hidup. Mereka bahkan melarang olahraga seperti sepakbola, catur, dan juga bermain layangan. Taliban melarang perempuan bersekolah, melarang wanita bekerja, bahkan melarang wanita keluar rumah kecuali bila didampingi kerabat pria. Di tempat umum perempuan harus mengenakan burqa setiap saat. Dalam hal kesehatan, dokter pria dilarang menemui pasien wanita. Para perempuan yang melanggar hukum itu akan dicambuk atau dieksekusi di depan umum.

Kendati lazim mengklaim diri mereka sebagai kaum muslim sejati, perilaku para pasukan Taliban jauh dari nilai-nilai kesantunan dan keberadaban. Pemerintah Taliban di berbagai kesempatan menolak bantuan yang diajukan lembaga-lembaga internasional termasuk dari PBB. Laporan PBB bahkan menyatakan pada 1998, pemerintah Taliban dengan sengaja menolak bantuan PBB dan membiarkan 160 ribu warga kelaparan hanya untuk agenda politik dan militer.

Sekitar pertengahan 1997, kepala agensi PBB di Kandahar diusir hanya karena mereka memprotes pelarangan terhadap seorang pengacara wanita dari badan PBB untuk memperlihatkan wajahnya saat mewawancarai warga sipil.

Taliban juga mendiskriminasi hukum minoritas. Mereka melarang non muslim mendirikan rumah ibadah.

Antara tahun 2008-2012, kaum Taliban mengklaim membunuh puluhan tenaga bantuan kesehatan asing karena kekhawatiran soal kehalalan vaksinasi atau karena para pekerja asing itu dituduh sebagai penyebar agama selain Islam.

Selama hampir 20 tahun Taliban tersingkir, namun kini hari-hari kegelapan Afghanistan kembali dimulai.

Marilah kita berharap kebangkitan Afghanistan tidak akan menginspirasi kelompok-kelompok Islamis untuk percaya bahwa penegakan syariat garis keras bisa kembali diperjuangkan di Indonesia. Tapi kembalinya Taliban ini juga memberi pelajaran penting bagi kita semua. Kita belajar bahwa ancaman Islamis radikal tidak bisa diatasi dengan hanya membubarkan organisasi atau menangkap tokohnya.

Yang menjadikan kaum Taliban itu terus hidup adalah keyakinan mereka tentang kewajiban menegakkan hukum Islam sebagaimana diterapkan 14 abad yang lalu. Cara berpikir, penafsiran agama semacam itulah membuat mereka terus bertahan.

Karena itu penulis beropini, bila kita tidak menginginkan Taliban hidup di Indonesia, maka yang harus diubah adalah cara berpikir/pola berpikir kita. Saya percaya, cara beragama di Indonesia pada dasarnya jauh berbeda dari cara padang dan budaya semacam itu.

Kita pula harus ingat sampai tahun 1980an, Afghanistan sebenarnya hidup dalam budaya modern yang pluralis. Dan itu semua berubah ketika kelompok-kelompok radikal dengan cara beragama yang sepenuhnya berbeda mengambil alih kekuasaan.

Marilah kita bersama melawan kaum radikal dengan mengembangkan cara berpikir yang terbuka, menerima perbedaan yang maju dan menjaga persaudaraan. Jangan pernah lengah, karena ancaman itu selalu ada.

Wallahu A’lam.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *