Tambang Wawonii; Siapa Untung? Siapa Buntung?

Pena Opini1,064 views

Oleh: Laode Rahmat Apiti

Derasnya arus penolalan masyarakat Wawonii terkait penolakan aktifitas pertambangan di kampung mereka patut diapresiasi.

Bentrokan aparat keamanan dengan masyarakat Wawonii yang menuntut pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) disesalkan banyak pihak.

Berdasarkan data yang dirilis oleh kawan-kawan aktifis 21 orang menjadi korban “keganasan” aparat dan Polisi Pamong Praja.

Pembungkaman suara-suara kritis dengan cara represif justru akan melahirkan gerakan sosial yang lebih besar. Untuk itu, sebaiknya aparat keamanan melakukan pendekatan dialogis dan humanis.

Diakui atau tidak selama ini masyarakat Wawonii hidup dari hasil pertanian sehingga bisa menyekolahkan anak-anak mereka sampai ke perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tanpa kehadiran corporate tambang tidak akan melumpuhkan aktfitas perekonomian.

Mereka sadar kalau hutan digundulkan oleh aktifitas pertambangan maka mata pencaharian masyarakat akan punah selamanya yang akan melahirkan pengangguran massal dan kelaparan massal akibat hilangnya mata pencaharian masyarakat secara permanen.

Berdasarkan data yang dirilis Dinas Pertambangan Provinsi Sulawesi Tenggara ada 15 IUP di Kabupaten Konawe Kepulauan. Bila ke 15 perusahaan tersebut melakukan operasi maka pulau wawoni berada diambang kehancuran serta akan terjadi pencemaran lingkungan yang masif.

Dampak buruk dari pertambangan telah terjadi disekitar kita, Kabupaten Konawe, Konawe Selatan (Konsel), Bombana serta Konawe Utara (Konut) saat ini telah memanen hasil buruk aktifitas pertambangan. Maka tidak salah bila masyarakat Wawonii menolak dengan tegas 15 IUP tersebut agar cerita buruk beberapa daerah diatas tidak terjadi di kampung penghasil kopra tersebut.

Beroperasinya perusahaan tambang tentu ada pihak-pihak yang diuntungkan dan atau menjadi lahan basah “berjamaah”. Beberapa kelompok berdasarkan pemetaan penulis pihak yang diuntungkan yakni:

Pertama, Pengusaha

Pengusaha sudah menghitung secara detail keuntungan yang akan diperoleh bila melakukan eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) penghasil kopra tersebut.

Bagi pebisnis, pertambangan akan menghasilkan keuntungan yang berlipatganda dan mensurpluskan isi rekening sehingga dengan cara apapun akan dilakukan agar aktifitas mereka berjalan lancar.

Sayangnya pengusaha hanya mencari keuntungan jangka pendek tanpa peduli dengan dampak yang akan muncul, apalagi sebagian besar pengusaha berasal dari luar Sultra. Akibatnya, rasa memiliki terhadap lingkungan sangat minimalis.

Kedua, Aparat Keamanan

Semakin gaduh dan terjadi penolakan masyarakat maka uang keamanan yang akan dikeluarkan akan semakin jumbo. Sebagaimana yang dilansir oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisnis tambang sebagian dibekingi oleh aparat keamanan.

Kolaborasi pengusaha dan aparat sudah menjadi rahasia umum dan tidak bisa dipungkuri pula bila IUP diwilayah Wawonii kemungkinan mendapat “suport” elit keamanan.

Ketiga, Birokrasi Korup

Oknum birokasi pemburu “dolar” sudah mengkalkulasi keuntungan yang akan diperoleh bila 15 IUP tersebut tidak dicabut dan atau dibekukan.

Bila dihitung secara sederhana satu perusahaan mengeluarkan operasional Rp100 juta untuk kordinasi dan berbagai tetek bengek lainnya maka jumlah yang didapatkan fantastis Rp.1,5 M. Maka tidak heran terkadang birokrasi mencarikan celah dan atau alasan pembenar untuk mendukung perusahaan tambang.

Tiga eleman tersebut yang menikmati aktifitas pertambangan sementara masyarakat menjadi “buntung” karena kebijakan-kebijakan yang tidak pro dengan lingkungan.

Pemerintah Provinsi sebaiknya mendengarkan aspirasi masyarakat agar tidak terjadi korban yang lebih banyak. Menghentikan 15 IUP tersebut merupakan tindakan yang sangat mulia ketimbang memberi “restu” pengusaha untuk melakukan eksploitasi. Suara rakyat suara Tuhan!.(***)

Penulis: Direktur AMAN Center