Oleh: Dr. La Ode Muhaimin, SH., LL.M
Kendari Pos dalam salah satu edisinya pernah merilis daftar kepala daerah (KD) yang berstatus “jomblo” di Sulawesi Tenggara. Istilah “jomblo” umumnya populer dikalangan anak muda yang tidak atau belum punya gebetan. Sampai juga istilah tersebut disematkan kepada KD hehe.
Menyambung ulasan Kendari Pos, tulisan ini mencoba mengkaji sisi lain dari status jomblo beberapa KD di Sultra/di daerah lain saat ini. Mengapa jabatan wakil kepala daerah (WKD) dibiarkan kosong?
Ada 3 faktor yang menjadi obyek telaahan. Pertama, dari perspektif sebagai wakil dari KD. Faktor kedua, jabatan KD kosong digantikan oleh WKD. Faktor ketiga, dari filosofi “satu nafas”. Faktor ketiga dititikberatkan pada konsep berpasangan yang dihubungkan dengan penakhodaan kapal pemerintahan kemudian ditautkan dengan kekosongan jabatan WKD.
Sebagai WKD
Sejarah pemerintahan daerah di Indonesia dari UU No. 1/1945 sampai Penpers No. 6/1959 tidak diadakan jabatan WKD. Justru yang ada hanyalah WKD istimewa. Jabatan WKD muncul dipenghujung akhir rezim Orde Lama dalam UU No. 18/1965 sampai dengan rezim reformasi saat ini. Namun demikian, sempat pula timbul wacana meniadakan WKD atau menambah jumlah WKD dalam RUU pemerintahan daerah pengganti UU No. 32/2004. Dari aspek kesejarahan ini setidaknya memberi gambaran kalau jabatan WKD kurang begitu penting tapi perlu.
Beranjak ke aspek pengabdian dan kulaitas bantuan. Jabatan WKD mengandung pengertian mewakili KD yang berhalangan sementara (sakit, berumroh, berhaji) atau ditunjuk oleh KD mewakilinya dalam suatu kegiatan tertentu. Ironisnya, mandat mewakili KD dalam kegiatan tertentu bukan hanya WKD tetapi KD dapat menunjuk pejabat lain juga.
Jabatan WKD berisi tugas dan wewenang. Dengan kata lain seorang WKD bekerja demi rakyat daerahnya, bangsa dan negara. Tampaklah dua bentuk pengabdian WKD, kepada negara dan membantu KD. Kualitas pengabdian WKD sama derajatnya dengan KD. Yang membedakan cuma takarannya, diukur dari kewenangan keduanya. Sedangkan bantuan WKD kepada KD hampir sama dengan kualitas bantuan para pejabat lain.
Berpindah ke aspek yuridis. Secara tekstual dalam UU 10/2016 menetapkan sisa masa jabatan WKD yang lowong tidak melebihi 18 bulan. Ketentuan waktu yang limitatif ini menjadi pegangan KD membiarkan jabatan WKD tidak diisi. Aspek yuridis boleh dibilang sebagai aspek kunci karena menutup semua celah dan peluang seseorang menduduki jabatan WKD.
Bergeser ke aspek lainnya. Jabatan WKD atau jabatan wakil lainnya cenderung dianalogikan sebagai jabatan “magang”. Hal ini pernah dikemukakan oleh Denny Indrayana yang mengulas jabatan wakil presiden. Ia mengatakan, jabatan wakil presiden adalah jabatan “magang” sambil menunggu presiden meninggal. Dapat ditambahkan dengan menunggu waktunya dipecat di tengah masa jabatannya atau sakit permanen.
Penulis berpandangan, di antara empat aspek tersebut menjadi pendorong kuat KD sehingga membiarkan jabatan WKD kosong sampai habis masa jabatannya ialah aspek pengabdian dan kualitas bantuan. Hal ini dikarenakan tugas dan wewenang WKD dapat dilakukan oleh KD sendiri atau dilimpahkan kepada pejabat lainnya. Sedangkan aspek (i) kesejarahan WKD; (ii) yuridis; dan (iii) WKD yang berkategori “magang”, sebagai penopangnya.
Pada faktor pertama ini menghasilkan konklusi bahwa jabatan WKD tidak terlalu penting. Kendatipun demikian jabatan WKD diperlukan sebagai jaga-jaga mengantisipasi KD tertimpa peristiwa khusus.
KD Menjoblo
Faktor kedua sengaja diringkas dengan KD menjomblo. Menjomblonya bisa disebabkan oleh (i) WKD berhenti atau diberhentikan; (ii) KD berhenti atau diberhentikan digantikan oleh WKD; dan kemudian (iii) KD menjomblo.
WKD berhenti (meninggal dunia, mengundurkan diri, sakit permanen) atau diberhentikan (status nara pidana, diangkat sebagai pejabat negara lainnya) berakibat jabatan WKD lowong. Pengisiannya bergantung pada dua hal (i) KD mengsulkan kepada DPRD; dan (ii) sisa masa jabatan di atas 18 bulan. Dua hal ini bertalian dengan aspek pengabdian/kualitas bantuan dan aspek yuridis kalau ingin diisi.
Dua hal yang dimaksudkan dapat digolongkan sebagai faktor utama dan penopang. Disebut faktor utama lantaran pengusulan calon WKD berada di tangan KD. Sepanjang KD tidak mengusulkan kepada DPRD maka selama itu pula tidak terjadi pemilihan WKD oleh DPRD. Meskipun Parpol/gabungan Parpol telah menyampaikan dua calon kepada KD agar dilanjutkan kepada DPRD tetapi KD menundanya/menahannya maka usulannya mengendap di meja KD.
Keengganan KD meneruskan usulan Parpol/gabungan Parpol lebih dipengaruhi oleh pertimbangan dari aspek pengabdian dan kualitas bantuan. Daya dorong aspek ini kemudian ditopang oleh aspek hukum sehinga bertambah tebal-lah kalkulasi dan keyakinan KD untuk tidak mengisi jabatan WKD.
Adapun KD berhenti atau diberhentikan lalu digantikan oleh WKD merupakan langkah antisipatif mencegah kevakuman pemerintahan. Dari sisi ini tidak ada urgensi dipersoalkan karena pengisaiannya tidak melalui pemilihan di DPRD. Sisi menariknya hanya terletak pada jabatan WKD yang kosong karena KD akan berstatus jomblo.
Prosedur pengisian jabatan WKD juga tidak lepas dari empat aspek yang dikemukakan di atas. Aspek yuridis memang menjadi taksiran bagi KD andai sisa masa jabatan masih di atas 18 bulan. Namun kekuatan dorongannya bisa mentok ketika dihadapkan dengan tiga aspek lainnya. Tiga aspek dimaksud, akan dimainkan oleh KD guna menciptakan peluang dan dukungan dari berbagai pihak termasuk DPRD. Tujuannya meyakinkan mereka agar kekosongan jabatan WKD dipertahankan.
Telaah “Satu Nafas”
Filosofi “satu nafas” bertitik tolak dari hakikat berpasangan sebagai calon KD dan WKD dalam Pilkada. Paket pasangan digagas sejak penjaringan di tingkat Partai Politik sampai penetapannya oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pun halnya jalur perseorangan, selalu berpasangan. Maka berpasangan menjadi titik tolak dari filosofi “satu nafas”.
Tarikan “satu nafas” KD dan WKD tidak terbaca linear dalam peraturan perundang-undangan. Di satu sisi dibentuk garis demarkasi kewenangan antara keduanya secara mendetail. Di sisi lain tunduk pada kewajiban yang sama dan prosedur pemakzulan di tengah masa jabatan yang sama pula. Pertalian yang tidak paralel antara kewenangan-kewajiban-pemakzulan berkonsekuensi terhadap filosofi “satu nafas” antara KD dan WKD.
Konsekuensinya terlihat dari menonjolnya peran KD dalam setiap pengambilan kebijakan, yang terkadang jarang melibatkan wakilnya. Hal ini harus diterima kalau diukur dari kewenangan KD. Karena di titik inilah yang memisahkan KD dan WKD agar tidak terjadi saling tubruk kewenangan. Tetapi di titik itu jualah yang seringkali menjadi sumber timbulnya bibit ketidakharmonisan bahkan berakhir pecah kongsi.
Karena itu, paket berpasangan sejatinya menggambarkan “satu nafas” yang menjelma dalam setiap perumusan kebijakan. Kendatipun disekat oleh kewenangan yang berbeda, pedal pemerintahan musti dikayuh secara berpasangan. Ketika bergeser pada fase pengambilan keputusan, secara otomatis kewenangan berpindah sepenuhnya ke tangan KD. Dengan begitu urat nadi pemerintahan terus berdenyut mencapai tujuannya, kesejahteraan rakyat.
Koherensi “satu nafas” dari kewenangan yang berbeda antara KD dan WKD dalam perumusan kebijakan, setidaknya mengejawantahkan (i) prinsip permusyawaratan dalam sila ke-4 Pancasila; dan (ii) prinsip good governance (kepemerintahan yang baik).
Maka kewenangan KD seyogyanya berjalan dalam koridor “satu nafas” dengan kewenangan WKD sehingga perwujudan dua prinsip tersebut minimal terlihat dan dirasakan oleh publik. Menghadirkan filosofi “satu nafas” dalam berpemerintahan, paling tidak atau sedikitnya dapat merangsang nalar politik KD mengisi kekosongan jabatan WKD.
Dengan demikian, status jomblo KD karena kosongnya jabatan WKD bukan disebabkan oleh melemahnya hasrat “birahi” KD, melainkan disebabkan oleh pengaruh empat aspek sebagaimana disajikan di atas.
Apakah ada pengaruh dari efek kohabitasi? Kohabitasi merupakan istilah yang disangkutkan pada pasangan yang tinggal satu atap tetapi tanpa adanya ikatan perkawinan.
Penulis adalah Pengajar HTN Unidayan