Teror Pajak Pemerintah Kota Kendari

Oleh: Laode Rahmat Apiti

Pemerintah Kota (Pemkot) Kendari sepertinya begitu getol membangun infrastruktur. Akibatnya berbagai cara dilakukan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).

Pemkot Kendari ingin mengejar ketertinggalan pembangunan dengan kota kota lain di Indonesia. Minimal Kota Kendari bisa menjadi “juara” di Indonesia timur sebagai kota yang berkembang.

Sebagai ibukota provinsi, Kendari harus menampakkan “wajah” yang ramah bagi penduduknya maupun kepada para investor yang menanamkan modal.

Berbagai program yang diimplementasikan diharapkan mampu merubah wajah Kota Kendari dan mensejahterakan masyarakat. Namun, sangat disayangkan terkadang Pemkot “kehabisan” stok ide yang kreatif untuk melakukan ekspansi pembangunan.

Salah satu sumber pemasukan Pemkot untuk menggerakan roda pembangunan di Kendari berasal dari pajak atau retribusi masyarakat serta kontribusi pembangunan dari pihak swasta.

Mengejar PAD yang jumbo atau besar biasanya memaksa birokrat untuk memutar otak agar sesuai dengan target capaian sehingga dalam konteks tertentu birokrat mengambil jalan “pintas” untuk mengejar “setoran” kas Pemkot.

Terkait dengan itu berbagai kebijakan yang “meneror” warga Kendari menjadi perbincangan publik. Misalnya saja salah satu statemen yang dilontarkan Kepala Dinas (Kadis) Pendapatan Kota Kendari, bila warga tidak membayar pajak, bumi dan bangunan akan disita tanahnya.

Kebijakan yang akan ditempuh Pemkot tersebut mendapat kecaman warga dari berbagai kelas sosial. Di media sosial (medsos) misalnya. Hal ini menjadi “dagelan” bagi para netizen dan penulis menyimpulkan penolakan warga melalui medsos begitu “heroik”.

Lantas mengapa Pemkot akan menempuh kebijakan “horor” tersebut. Pertama, mengejar setoran PAD. Dengan dalih untuk meningkatkan PAD, biasanya kebijakan yang “haram” pun dilakukan oleh pemerintah daerah atau Pemkot. Padahal masih banyak sektor lain yang bisa diberdayakan untuk menggali sumber PAD.

Kedua, minim inovasi. Harusnya Pemkot Kendari kreatif melihat potensi penerimaan lain sehingga PBB bukan satu satunya cara untuk “mendongkrak” PAD.

Birokrat yang inovatif harusnya merancang kebijakan kebijakan alternatif yang tidak “meneror” warga Kendari. Namun dengan kejadian ini menggambarkan kalau Pemkot Kendari kekurangan “stok” birokrat-birokrat yang mumpuni dan visioner.

Ketiga, modus baru mengusir warga miskin. Sepertinya Pemkot Kendari ingin “mengusir” kaum miskin diperkotaan.

Bila warga miskin tidak mampu membayar PBB tanahnya maka akan disita Pemkot, secara perlahan kaum “miskin” harus meningglkan Kota Kendari dan inilah salah satu cara “halus” untuk mengusir warga.

Kebijakan ini tentu saja tidak humanis dan bertentangan dengan slogan Kota Kendari sebagai kota bertakwa. Karena salah satu ketakwaan kota bagi penulis adalah memberi kesempatan hidup bagi kaum miskin.

Dengan adanya penolakan warga Kota Kendari terkait penyitaan tanah yang menunggak PBB harus dikaji ulang. Bila kebijakan ini dipaksakan, penulis yakin akan terjadi perlawanan rakyat kota secara massal.

Pemkot harusnya mau duduk bersama masyarakat untuk merumuskan kebijakan kebijakan alternatif yang bisa memacu pembangunan Kota Kendari.

Namun, selama ini Pemkot enggan untuk melibatkan masyarakat padahal masyarakat Kendari terdiri dari berbagai profesi yang tentu saja ada segudang ide yang akan disampaikan bila saja warga dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan.

Kebijakan publik tidak elok diberlakukan bila hasilnya menyengsarakan rakyat. Bangunlah Kendari dengan humanis bukan dengan cara “agresi” yang mengakibatkan masyarakat menderita lahir dan bathin.

Semoga Pemkot cepat insaf dengan kebijakan tersebut.(***)

Penulis: Direktur AMAN Center