Oleh: Maolana Mohammad Sah, S.Psi., M.Si.
Hai… perkenalkan nama saya Budiman Sustrisno. Pada kesempatan kali ini saya akan memberikan komentar atau opini mengenai perilaku bullying yang terjadi di sulawesi selatan, khususnya di kabupaten Pangkep pada hari minggu 17 Mei 2020, dikutip dari tribunnewsmaker.com.
Namun untuk lebih spesifiknya saya ingin mengupas mengenai fenomena agresifitas seperti bullying atau persekusi yang dijadikan solusi dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi pada peristiwa yang dikenal dengan tragedi jalangkote.
Mungkin secara umum, kita telah mengetahui setiap episode yang terjadi. Baik dari awal F membullying si bocah penjual jalangkote sampai akhirnya F harus diringkus dan dipermalukan atau mungkin dipersekusi di rumah aparat penegak hukum yang dinilai objektif dan manusiawi dalam memberikan hukuman (F-nya lain mungkin). Bukan hanya itu, postingan dan komentar juga membanjiri media sosial yang berniat memberikan hukuman kepada F, walaupun hukuman itu berwujud bullying atau pengutukkan yang hampir sama atau lebih apa yang dilakukan oleh F terhadap bocah penjual jalankokte.
Kebanyakan orang (mungkin) tidak sadar bahwa peristiwa ini memperlihatkan terjadinya prososial di lingkungan kita yang berujung agresifitas, baik itu bentuk bullying maupun persekusi. Atau bisa dikatakan fenomena balas dendam. Hal ini disebabkan karena apa yang mereka lakukan dinilai benar dan setimpal dengan apa yang F lakukan.
Namun, menurut Baron dan Byrne (2005) seseorang memberikan bantuan kepada korban bukan hanya karena empati saja, melainkan disebabkan oleh suasana hati yang sedang jelek dan ingin meresa lebih baik, keinginan untuk jadi pahlawan agar memberikan pengaruh kepada korban, atau seseorang menolong karena apa yang dialami korban sama seperti pengalaman yang pernah dia lalui. Jadi kemungkinan, dari sekian orang yang melakukan bullying atau mempersekusi F, disebabkan kejengkelan mereka terhadap F dan rasa jengkel itu bisa hilang bila mereka membullying F seperti apa yang F lakukan terhadap si bocah jalankokte. Apakah F jerah atau tidak? Hal ini diluar konteks yang ingin saya bahas sekarang. Namun yang saya pikirkan adalah lahirnya orang-orang seperti F yang merasa benar melakukan itu.
Lahirnya orang-orang baru seperti F pada peristiwa tragedi jalangkote ini, menjadikan F korban yang baru, bahkan lebih masif (besar-besaran) dibandingkan yang dialami oleh si bocah jalankokte. Kemasifan ini bisa dilihat ke-viral-an F di media sosial sebagai bahan lelucon, bullying bahkan pengutukkan terhadap F. ini pun tidak bisa dipastikan akan berhenti ketika F bebas dari hukumannya. Apakah dia akan diterima di lingkungannya atau di media sosial.
Perlu disadari apa yang dialami oleh F merupakan agresifitas yang berbentuk main hakim sendiri. Hal ini dibuktikan karena sebelumnya F divonis. F harus menerima hukuman oleh masyarakat berupa hujatan, pengutukkan, bahkan mungkin dipersekusi oleh oknum yang seharusnya bersifat netral, menegakkan hukum, memberikan perlindungan, dan mengayomani. Saya berdoa bukan F ini yang mengalaminya.
Menurut Panjaitan dan Wijaya, perilaku main hakim sendiri dipicu oleh faktor emosional. Emosi merupakan rasa empati yang mendorong seseorang untuk menjadi pahlawan agar dapat membasmi pelaku. Kedua, faktor ikut-ikutan. Dalam psikologi sosial, ikut-ikutan adalah perilaku konformitas yang mendorong seseorang melakukan apa yang dilakukan suatu kelompok, jika dia tidak melakukannya maka dia akan merasa terasingkan di kelompok tersebut. Faktor terakhir adalah faktor kurang mempercayai hukum atau aparat pemegak hukum, kurangnya figur atau contoh yang baik atau teladan dari penegak hukum membuat seseorang akan lebih puas melakukan main hakim sendiri daripada menyerahkan masalah ini kepada aparat penegak hukum.
Namun anehnya, jika ada video yang memperlihatkan peristiwa presekusi yang dialami oleh pelaku di rumah penegak hukum, seperti kasus lain, F juga insialnya. Saya berharap itu bukan oknum penegak yang melakukannya. Sebab jika mereka yang melakukannya, sama siapa lagi saya bisa menaruh kepercayaan untuk menegakkan hukum yang lebih adil dan objektif di negara ini.
Akankah seterusnya kita melahirkan beribu orang yang melakukan agresifitas dalam bentuk bullying dan persekusi untuk membasmi 1 orang yang seharusnya dihukum berdasarkan hukum yang berlaku. Agresif ini bukan merupakan sebuah pertahanan dari sebuah ancaman. Melainkan sebuah hukum rimba yang dilakukan oleh manusia-manusia purba.
Jika perilaku main hakim sendiri yang dialami oleh F dibenarkan di negara ini. Alangkah bagusnya jika koruptor yang sudah merugikan negara dan rakyat, dihukum massal dan tidak diterima lagi di negeri ini.
Demikian komentar saya terhadap tragedi jalankotet ini. Semoga ini bisa dijadikan diskusi untuk cari solusi bagaimana menghilangkan sifat main hakim sendiri dan bagaimana menegakkan hukum di negara ini, tanpa mengurangi pelaku sebagai warga masyarakat yang memerlukan keadilan.(**)
Penulis adalah aktivis Jiwa Indonesia sekaligus Dosen Jurusan Psikologi Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari