Menemukan Oposisi Konstruktif

Oleh: La Ode Rahmat Apiti

Pemerintahan demokratis mensyaratkan terjadinya mekanisme chek and balances. Ruang partisipasi publik harus dibuka seluas luasnya. Berbagai gagasan dan aspirasi masyarakat harus menjadi input untuk memperbaiki tatanan kebijakan yang belum sempurna.

Oposisi dalam pemerintahan menjadi prasyarat mutlak untuk mengontrol jalannya pemerintahan. Oposisi baik diparlemen maupun diluar parlemen diharapkan bisa memberi kontrol kebijakan publik. Sehingga tetap berjalan pada koridor regulasi yang tepat.

Oposisi yang cerdas adalah oposisi inklusif. Bisa diajak berdialog atau berdialektika dengan berbagai pihak bukan oposisi yang mengedepankan bahasa propaganda tanpa substansi. Fatalnya, gagasan yang didorong tidak otentik hanya mereduksi (copy paste) gagasan pihak lain. Katakternya, sensasional untuk bargaining kepentingan karena sindrom of power.

Sejak reformasi, munculnya oposisi tidak bisa dibendung baik oposisi tematik yang paradigmatik maupun oposisi pragmatis (kaleng-kaleng). Bahkan, di Sulawesi Tenggara pun kelahiran kubu oposisi ini bagaikan cendawan dimusim hujan. Biasanya, kelahiran organ oposisi dimotori oleh aktifis “veteran” yang tersingkir dari pusaran kekuasaan.

Ciri khas dari oposisi seperti ini getol melakukan agitasi bila targetnya belum tercapai bahkan sok cerdas serta sok suci bagaikan “ahli” surga namun bila target sudah terwujud akan menjadi anak manis dihadapan penguasa.

Selanjutnya, oposisi oplosan. Ciri khas dari oposisi seperti ini bagaikan penjual obat dikaki lima. Melakukan kritik tanpa disertai gagasan paradigmatik dan apapun yang dilakukan pemerintah dianggap salah bahkan kelompok mereka yang dianggap benar lebih parahnya, kelompok seperti ini anti kritik bahkan lebih feodal dari firaun.

Oposisi seperti ini biasanya dimotori oleh beberapa kelompok misalnya pengusaha dan atau kontraktor tidak pernah mendapatkan “jatah” proyek. Pejabat yang non job atau aktvis yang sindrom kekuasaan.

Ketiga, oposisi kaleng-kaleng. Oposisi seperti ini kerjanya meneriakan kegagalan pemerintahan namun tanpa ide dan konsep jangka panjang. Teriakan dan gerakan sporadis menjadi ciri khas dengan berbekal spanduk,megaphone, dan pers release, melakukan advokasi namun ketika dimintai solusi akan mengalami kegagapan bahnkan paranya lagi apa yang disampaikan merupakan “orderan” pihak tertentu.

Tiga fenomena diatas merupakan hasil pemetaan penulis dalam mengamati oposisi di Sultra.

Oposisi yang diharapkan menjadi pengontrol kekuasaan tidak bisa diharapkan lagi karena oposisi yang lahir di zaman milenial ini justru menjadi “polusi” demokrasi atau sampah politik karena saat ini oposisi lahir untuk mencari keuntungan.

Kedepan, kita berharap ada oposisi yang lahir dari kekuatan masyarakat. Oposisi yang cerdas, memiliki agenda agenda terstruktur dan transformatif serta tidak tergoda dengan aroma kekuasaan. Oposisi Konstruktif menjadi harapan masyarakat yang melakukan kritik berangkat dari berbagai kajian akademik serta visioner.

Penulis adalah Direktur Aman Center