PENASULTRA.COM, MUNA – Gerakan Rakyat Sulawesi Tenggara (Gerak Sultra) meminta Kapolda Sultra untuk segera melakukan supervisi di Polres Muna dan segera menetapkan tersangka direktur PT Mitra Pembangunan Sulawesi Tenggara (PT MPS).
Pasalnya PT MPS diduga diduga tidak mengantongi izin produksi Galian c dan pengelolaan aspal mixing plant (AMP) serta pembangunan pelabuhan jetty/terminal khusus. Selain itu, PT MPS juga diduga telah melakukan penyerobotan sebagian kawasan hutan lindung yang digunakan untuk pembangunan pelabuhan khusus tersbut di Desa Lasalepa, Kecamatan Lasalepa Kabupaten Muna.
Persoalan ini telah dilaporkan oleh Gerak Sultra pada tanggal 8 juli 2020 lalu di Polres Muna, namun sampai saat ini belum diketahui terkait informasi perkembangan laporan tersebut.
Bahkan, Gerak Sultra juga telah beberapa kali melakukan aksi unjuk rasa terkait dengan hal ini. Dalam unjuk rasa saat itu LSM Gerak Sultra telah mempertanyakan di beberapa instansi terkait, seperti dinas PTSP dan Penanam Modal, Pelabuhan Nusantara Raha dan Polres Muna.
“Maka pada kesempatan itu pengakuan dari beberapa instansi kepada kami Gerak Sultra bahwa aktivitas pertambangan galian c dan pengelolaan Aspal mixing plantnya PT MPS yang berada di Motewe Desa Lasalepa baru memiliki izin prinsip dan tak memiliki izin produksi, sama halnya dengan pengakuan dari eks kepala syahbandar raha pak sultan terkait pembangunan pelabuhan jetty/terminal khususnya juga tak memiliki izin rekomendasi pelabuhan setempat sebagai syarat pengajuan di Kementrian Perhubungan untuk pembangunan pelabuhan jety/terminal khusus”, kata Arifuddin Syah selaku Anggota Divisi Advokasi Dan Investigas Gerak Sultra, Sabtu, 17 April 2021.
Lanjutnya, kepala perwakilan Dinas Kehutanan Provinsi Sultra Unit Pelaksana Teknis – Kesatuan Pengelolaan Hutan (UPTD KPH) Unit VII Pulau Muna juga ikut memberikan komentar di salah satu media lokal bahwa kegiatan penambangan galian c dan pengelolaan AMP PT MPS telah meramba hutan lindung mangrove dalam pembangunan pelabuhan jetty/terminal khusus perusahaan tersebut.
“Kami beberapa kali melakukan unjuk rasa terkait perkembangan aduaan, terakhir kami demo awal bulan november 2020 dan Polres Muna melalui Kasat Reskrim Iptu Hamka selalu berdalil bahwa sejauh ini laporan kami sedang dalam tahap pemeriksaan beberapa instansi termasuk direktur PT MPS, kemudian mengatakan saat ini kami sedang sibuk kamtibmas pilkada muna dan itu kami maklumi. Tapi saat ini kan Pilkada sudah selesai dan durasi waktu aduan yang kami sampaikan sudah hamper satu tahun. Namun belum ada progres terkait dengan perkembangan aduan kami. Ini kan patut diduga ada kongkalinkong antara Polres Muna dengan PT MPS”, kesal Arifuddin.
“Kasus yang kami adukan pada awal bulan juli tahun 2020 itu belum memiliki titik terang dan kami menggangap polres muna tidak kooperatif dengan kami bahkan untuk berbagi informasi perkembangan aduaan kami tersebut”, sambungnya.
Atas hal ini, LSM Gerak Sultra berharap agar Kapolda Sultra segera melakukan supervisi kepada Polres Muna terkait aduaan yang disampaikan sejak tahun 2020 lalu dan meminta Kapolda Sultra segera mencopot Kasat Reskrim Polres Muna yang dinilai gagal dalam menerapkan supremasi hukum di Muna.
Sementara itu, kepala syahbandar Raha saat dikonfirmasi ia mengaku tidak tahu menahu tentang keberadaan jetty milik PT MPS di Desa Lasalepa. Ia bahkan baru mendengar dari konfirmasi awak media ini terkait aktivitas jetty di Desa Lasalepa itu.
“Kalau saya baru dapat informasi ini kalau jetty di Motewe. Nanti saya suruh anggota saya untuk cek. Karena sampai saat ini selama saya bertugas mulai dari bulan 9 cuman satu tersus yang ada di wilayah kerja saya. Cuma pertamina. Kalau ada yang begitu nanti saya suruh anggota saya untuk cek”, kata Kepala syahbandar Raha melalui sambungan telepon selulernya.
Editor: Husain