Catatan Awal Tahun 2019; Evaluasi Otsus Papua Pasca 17 Tahun Berjalan

Pena Opini700 views

Oleh: La Ode Muhammad Rusliadi Suhi

Belum lama ini perayaan ulang tahun yang ke-17 Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dilaksanakan pada tanggal 22-23 November 2018, yang bertempat di Jayapura. Dengan memasuki usia yang ke-17, penulis meminjam istilah “ibarat manusia, usia tersebut sudah mengalami masa meranjak dewasa”.

Pada tanggal 21 November 2001 yang lalu adalah pengesahan Undang-undang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Pemerintah Pusat memberikan desenteralisasi melalui Otonomi Daerah atau penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah otonomi “seperti dikutip dari teori Hans Kelsen” Decentrazation by Local Autonomy.

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 merupakan landasan Yuridis pelaksanaan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua terdiri dari XXIV Bab dan 79 Pasal yang diawali dengan konsideran dan diakhiri dengan penjelasan umum dan penjelasan pasal-demi pasal.

Di tengah keberlanjutan Otonomi Khusus di Tanah Papua saat ini, Pemerintah akan melakukan evaluasi secara menyeluruh mengingat implementasi arah kebijakan Otsus Papua tidak berjalan mulus selama ini. Mengenai pembiayaan Otsus Papua telah digelontorkan selama periode tahun 2002 hingga 2018 begitu besar dengan jumlah Rp76.195.428.524.550_ (tujuh puluh enam triliun lebih) dan Papua Barat digelontorkan selama Periode tahun 2008 hingga 2018 dengan jumlah Rp29.882.064.643.950_(dua puluh sembilan triliun lebih). (sumber: Kemendagri RI).

Besarnya dana yang telah digelontorkan tidak sebanding dengan output kualitas pembangunan fisik dan sumber daya manusia serta kualitas pelayanan yang masih tertinggal jika dibandingkan dengan daerah lain.

Jika melihat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Papua 70,81% dan Papua Barat 70,81%, termasuk IPM paling rendah di bawah rata-rata IPM Nasional (urutan 34 dan 33 dari 34 Provinsi di Indonesia); (sumber: BPS Papua dan Papua Barat).

Untuk melihat masalah pembangunan dan layanan publik dalam kerangka desentralisasi asimetris di Papua, kita perlu memetakan akar persoalan di Tanah Papua.

Salah satu problem mendasar dalam Otsus di Papua hari ini adalah tidak adanya regulasi yang bersifat komprehensif untuk mengatur tentang kewenangan antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota di Papua.

Kondisi ini memberikan dampak berupa tumpang tindihnya implementasi dan koordinasi antar lembaga Otsus yang berdampak pada pembangunan. Dalam Penyusunan Perdasus/Perdasi juga belum tuntas (Amanat UU: Perdasus (13); (9), Perdasi (18); (13), Perencanaan, Penganggaran, dan Pelaksanaan Dana Otsus belum sinkron dan akuntabel, rencana induk pembangunan otsus papua belum tersusun, serta Lemahnya Pengawasan Otsus.

Lemahnya institusi yang melakukan fungsi check and balances di tubuh kelembagaan lokal. Dalam penerapan kebijakan otsus, seringkali friksi-friksi terjadi antara legislatif dan eksekutif tidak berjalan dengan mulus salah satunya disebabkan ekslusivitas masing-masing lembaga tersebut.

Permasalahan juga terjadi ketika Majelis Rakyat Papua (MRP) tidak memiliki power yang kuat untuk melakukan pengawasan, dan pada tahap dimana lembaga tersebut saat ini telah membentuk Pansus untuk melakukan Revisi PP No. 54 Tahun 2004 Tentang MRP, karena sejak awal dalam pembentukannya, kewenangan MRP sebagai lembaga representatif Lembaga Adat sangat terbatas, yang berakibat pada lemahnya fungsi check and balances antarlembaga, sehingga marak terjadi penyalahgunaan dana Otsus.

Selanjutnya, dalam mendorong keberlanjutan Otonomi Khusus di Tanah Papua, Revisi UU 21 Tahun 2001 Tentang Otsus harus dilakukan. Upaya tersebut salah satunya adalah untuk mendorong keberlanjutan distribusi dana Otsus di Papua dan diselaraskan dengan semangat untuk meningkatkan kualitas bagi masyarakat Papua.

Evaluasi juga tidak hanya berhenti pada masalah yang bersifat administratif dan teknis terkait pengelolaan, penyaluran, pertanggungjawaban dan manajerial pengelolaan dana Otsus. Tapi, upaya perbaikan harus dimulai dari upaya perbaikan regulasi terkait kejelasan kewenangan provinsi dan kabupaten dalam Otsus Papua. Selain itu, Pemerintah Pusat perlu menjalin komunikasi dengan elit lokal secara intens dengan masyarakat Papua.(***)

Penulis: Praktisi Hukum & Tenaga Ahli Desk Papua Kementerian PPN/Bappenas RI