Oleh: Maolana Mohammad Sah, S.PSi, M.Si.
Waktu dulu, ketika saya berdebat dengan teman tentang bahaya rokok, saya selalu berupaya mengeluarkan dalil untuk mempertahankan dan membenarkan apa yang saya yakini kebenarannya. Saat itu, dalil yang saya paparkan merupakan suatu opini yang bersifat spekulatif dengan niat ingin merobohkan data-data penelitian yang menyatakan rokok dapat membahayakan kesehatan.
Opini yang saya pertahankan itu lahir dari berbagai pengalaman-pengalaman pribadi serta cerita-cerita orang yang sebenarnya belum bisa dipastikan kebenarannya. Fenomena psikologi ini bisa terjadi dalam proses komunikasi intrepersonal, dimana seseorang akan menyatakan benar suatu pesan jika isi pesan yang diterima memiliki kesamaan ideologi atau keyakinan terhadap suatu hal. Tapi apakah opini itu bernilai objektif?
Ironinya, orang-orang seperti saya waktu dulu masih ada di bumi ini, dimana mereka menyakini opini merupakan suatu kebenaran yang bisa dipertanggung jawabkan dan mengantarkan kita kepintu surga (Jika diyakini). Namun sayang, opini-opini yang diyakini kebanyakan merupakan upaya untuk mempertahankan kepentingan pribadi atau kelompok semata.
Tulisan ini akan memperlihatkan salah satu contoh opini yang menarik menurut saya. Opini itu berjudul “Survey Kepuasan Publik, Nyata atau Manipulatif?” ditulis oleh seorang pendidik generasi dan dipublikasi di penasultra.com (https://penasultra.com/survey-kepuasan-publik-nyata-atau-manipulatif/).
Apa yang menarik diopininya? Beliau yang merupakan penulis opini tersebut berusaha membandingkan fakta-fakta yang menurutnya dapat menggugurkan hasil penelitian tersebut. Misalnya, adanya janji-janji kampanye yang belum terealisasikan oleh pemimpin yang terpilih, adanya utang negara, dan adanya kebijakan yang menghapus puluhan bidang usaha dari daftar negatif investasi.
Serta Beliau mencoba merekonstruksi pimikiran pembaca dengan suatu anggapan bahwa survei kepuasan publik merupakan suatu rekayasa untuk menguntungkan pemimpin yang terpilih. Namun apakah itu relevan?
Untuk lebih sehatnya, saya akan memaparkan pengertian opini yang saya kutip dari maxmanroe.com. menurut max (panggilan sayang maxmanroe.com), opini merupakan suatu pendapat, tanggapan, pandangan, atau hasil pikiran seseorang dalam menjelaskan atau menyikapi suatu hal, dimana pendapat tersebut berasal dari pengalaman-pengalaman pribadi atau cerita-cerita yang bersifat subjektif. Beberapa referensi lain mengatakan opini bisa menjadi fakta objektif ketika opini tersebut dibuktikan atau diverifikasi. Namun pada saat opini dikeluarkan, opini tersebut tidak bisa dibuktikan secara induksi.
Jika kita sudah sehat, berarti kita telah sepakat bahwa opini Beliau hanya merupakan tanggapan yang subjektif dimana kredibilitas kebenarannya masih diragukan untuk dijadikan fakta yang objektif. Disisi lain, saya pun ragu apakah opini tersebut akan didukung oleh salah satu agama yang menjunjung tinggi perlunya bukti terhadap tuduhan.
Misalnya, jika Beliau menyatakan bahwa survei tersebut merupakan manipulatif karena adanya fakta janji-janji kampanye yang belum direalisasikan. Maka yang harus Beliau utarakan, mana bukti manipulasinya yang kebenaranya dapat dipertanggug jawabkan. Selain itu, apakah ada seorang pemimpin yang merupakan manusia biasa (bukan Nabi atau Rosul) dapat merealisasikan semua janjinya kepada rakyat dengan waktu yang singkat (5 tahun), dimana kondisi suatu negara mewarisi kompleksitas masalah di dalamnya. Apakah Beliau juga tidak melihat adanya variabel-variabel lain yang dapat menghambat atau membuat janji-janji tersebut tidak bisa diwujudkan. Saya saja sebagai orang tua ketika berjanji kepada anak, terkadang tidak bisa merealisasikan semua janji tepat pada waktunya. Hal ini disebabkan adanya faktor ekonomi, kesibukan, kondisi yang tidak mendukung dan lain sebagainya.
Sedangkan fakta-fakta lain yang menjadi penguat opini Beliau juga mengalami kritik yang sama seperti di atas. Secara singkatnya. Mana buktinya?.
Sekarang mari kita melihat survei. Survei merupakan salah satu metode ilmiah yang memiliki beberapa sifat. Pertama, kritis dan analitis yang berarti suatu penelitian dapat menghasilkan sesuatu yang relevan dan akurat. Kedua, bersifat logis yang berarti suatu peneliti dapat dijelaskan dengan logis, bukan berdasar firasat atau spekulatif. Ketiga, bersifat objektif dimana hasil suatu penelitian tidak eksklusif dan bukan merupakan hasil rekayasa. Keempat, bersifat empiris yang diartikan hasil didapatkan dari kejadian nyata yang benar-benar terjadi, bukan karangan atau berbasis hanya dari opini peneliti sendiri atau orang lain. Terakhir, penelitian berfokus pada hal-hal yang berkaitan dengan konsep-konsep suatu fenomena atau biasa disebut konseptual.
Bedasarkan uraian singkat tentang survei tersebut. Penarikkan fakta-fakta yang Beliau lakukan dalam bentuk opini akan menjadi subjektif yang disebabkan ada kecenderungan individualitas menghubung-hubungkan satu fenomena dengan fenomena lain berdasarkan harapan, keinginan, pengetahuan, pengalaman atau kepentingan Beliau semata. Sayangnya fenomena-fenomena yang dihubungkan tidak bisa menjadi suatu kausalitas kebenaran yang dapat diverifikasi. Sehingga tidak bisa dijadikan dalil untuk menggugurkan suatu penelitian.
Lebih lanjut, Beliau mencoba mengutip pendapat-pendapat seseorang yang dijadikan penguat dalam opininya. Namun menurut saya pendapat seseorang yang dikutip akan menjadi sebuah kepentingan subjektifitas untuk mempertahankan kebenaran yang tidak jelas dan tidak bisa diverifikasi kebenarannya. Apalagi ketika Beliau mengatakan “Membangun narasi demi keuntungan rezim”. Hal ini merupakan suatu tuduhan yang bisa berujung fitnah.
Sekali lagi, tidak ada opini yang bernilai objektif, apalagi disandarkan dengan suatu agama. Uraian di atas kurang lebih sudah menjelaskan maksud saya. Saya hanya takut, agama dijadikan benteng terhadap tuduhan-tuduhan yang belum dibuktikan kebenarannya. Apalagi agama dijadikan solusi dari sebuah opini yang tidak memiliki akurasi kebenarannya.
Apa yang harus dilakukan?. Tulisan ini merupakan suatu opini yg belum tentu kebenarannya juga dan saya pun masih meragukan diri saya sendiri. Serta definisi-definisi yang dicantumkan di tulisan ini pun saya pilih secara selektif untuk mendukung pendapat saya. Namun inti tulisan ini hanya suatu pembanding dari opini Beliau, dimana saya mencoba membantah jika opini bukanlah alat ukur atau dijadikan dalil kritik terhadap suatu penelitian yang ilmiah.
Biarkan para akademisi dan masyarakat yang menilai, apakah opini vs opini dapat dibenarkan atau opini vs penelitian ilmiah yang paling benar? Saya hanya memberikan opini semata.
Penulis: Dosen Psikologi Universitas Halu Oleo Kendari dan Aktivis Jiwa Indonesia