PENASULTRA.COM, KENDARI – Kisruh persoalan pertambangan di Sulawesi Tenggara (Sultra) masih saja terus bergulir pasca pengumuman 22 daftar perusahaan tambang yang dianggap “bandel” oleh Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Sultra beberapa waktu lalu.
Salah satu parameter perusahaan “bandel” yang disematkan ESDM Sultra dilihat dari ada atau tidaknya selembar kertas pengesahan rencana kerja anggaran belanja (RKAB) dan pengajuan surat keterangan verifikasi (SKV).
Dalil ESDM menguatkan adanya RKAB dan SKV bagi penambang lokal ini selain untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) sekaligus menekan adanya pemenuhan kuota ekspor yang disinyalir dimanfaatkan salah oleh sang pemilik kuota ekspor.
Seperti diketahui, dari 22 perusahaan “bandel” terdapat sejumlah perusahaan yang telah memiliki kuota ekspor barang mentah berupa ore nikel kadar tertentu dari pemerintah pusat.
Melihat kondisi ini, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sultra merasa “terusik” karena pencapaian target pendapatan asli negara menjadi sedikit terganggu.
Kepala Bidang Ekspor Disperindag Sultra, Sapoan berpandangan, persoalan asal ore yang diekspor perlu dicari tahu kesesuaian dengan permohonan izin ke Kementerian ESDM sebelum akhirnya terbit izin kuota ekspornya dari Kementerian Perdagangan.
“Kalau yang dijadikan dasar karena tidak melakukan verifikasi berdasarkan Pergub 39 tahun 2013, verifikasi itu tidak menjadi syarat untuk melakukan ekspor, tapi instrumen Pemda untuk mengontrol dan mengendalikan aktivitas pertambangan. Jadi, perlu dikaji dulu. Penghentian tidak bisa dengan keputusan kepala bidang saja,” tegas Sapoan Jumat 22 Maret 2019.
Terkait PT Adhikara Cipta Mulia (ACM) yang diketahui telah memberangkatkan vesel keluar Sultra hingga beberapa kali tanpa RKAB dan SKV, Sapoan mengaku tahu akan hal itu. Kata Sapoan, Surat Keterangan Asal (SKA) ekspor yang diterbitkan Disperindag Sultra berdasarkan dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) dari Bea Cukai.
“Ya, kita di Disperindag dalam menerbitkan SKA hanya melihat PEB, BL, Packing List (PL) dan Invoice. Kalau itu sudah lengkap maka bisa diterbitkan SKA, tanpa melihat RKAB dan SKV. Dalam aturannya seperti itu. RKAB dan SKV kalau tidak salah dasarnya adalah Pergub sedangkan PEB, BL, PL, Invoice dan SKA dasarnya adalah undang-undang, PP, dan Permen,” jelas Sapoan.
Meski demikian, menurut Sapoan, jika Pergub RKAB dan SKV mau diberlakukan Dinas ESDM, maka baiknya sebelum penerbitan PEB, BL, PL, Invoice dan SKA itu semua sudah harus kelar sebelum barang (cargo ore) naik di atas kapal (Vessel).
“Tapi kalau barang sudah di kapal serta dokumen PEB, BL, PL dan Invoice lengkap, maka tidak ada alasan Dinas Perindag untuk tidak menerbitkan SKA apabila perusahaan bersangkutan mengajukan penerbitan SKA,” terang Sapoan.
Olehnya itu, Sapoan meminta jika RKAB dan SKV dijadikan salah satu penentu ekspor oleh ESDM Sultra, maka seharusnya kedua syarat tersebut disampaikan di awal ketika ada rencana ekspor.
“Dengan begitu, akan ketahuan sumber orenya dari mana. Apakah dari IUP-nya PT ACM sendiri atau ada dari luar IUP? Jangan setelah diterbitkan dokumen ekspor. Sebab, RKAB dan SKV bukan menjadi persyaratan penerbitan dokumen ekspor,” pungkas Sapoan.(a)
Editor: Mochammad Irwan