PENASULTRA.COM, JAKARTA – Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat memberikan anugrah kepada B.J Habibie sebagai Bapak Kemerdekaan Pers Indonesia, Senin 16 September 2019.
Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Atal S Depari mengatakan, anugerah ini diberikan untuk mengingatkan bangsa Indonesia juga pemerintah bahwa kemerdekaan pers adalah kemutlakan untuk Indonesia yang demokratis, kuat dan untuk kepentingan rakyat seluas-luasnya.
“Pak Habibie telah membuka kemerdekaan pers, tepat 20 tahun lalu. Bagi kita semua, tidak ada jalan untuk mundur, bahkan kita harus semakin memperkuatnya dalam situasi apapun,” kata Atal melalui rilis persnya, Senin 16 September 2019.
Menurutnya, kemerdekaan pers adalah keniscayaan mutlak berdasar prinsip hak asasi warga negara. Namun, dalam perjalanan sejarah Indonesia sebelum reformasi 1998, kemerdekaan pers mengalami masa-masa kelam, bahkan gelap.
Pada masa orde lama, pers behadapan dengan kekuasaan. Kritik pers kepada pemerintah dianggap sebagai permusuhan dan karena itu harus dilarang. Sejumlah surat kabar yang dianggap tidak sejalan dengan kehendak pemerintah, dihentikan dengan paksa. Surat Izin Terbit (SIT) dicabut.
“Pada masa itu, surat kabar yang ditutup, di antaranya Indonesia Raya. Mochtar Lubis, pemimpin Indonesia Raya bahkan dipenjarakan selama sembilan tahun tanpa proses peradilan,” jelas Atal.
Pada masa orde baru, harapan untuk kemerdekaan pers, kembali redup. Indonesia Raya yang sempat terbit, kembali dibreidel setelah peristiwa Malari, Januari 1974.
“Media lain yang dibredel antara lain Harian KAMI, Abadi, The Jakarta Times, Pedoman, dan Ekspres. Setelah Pemilu 1977, pembredelan menimpa antara lain Kompas, Merdeka, Sinar Harapan dan Pelita. Alasan yang digunakan, antara lain pers membahayakan keamanan negara dan mengadu-domba,” bebernya.
Pengekangan kebebasan pers kemudian dihalalkan orde baru melalui undang-undang (UU) Nomor 21 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers. Kemudian, UU Nomor 21/1982 ini melahirkan Peraturan Menteri (Permen) Penerangan Nomor 1 tahun 1984, yang mengharuskan setiap penerbitan pers memerlukan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang dikeluarkan oleh pemerintah.
“Menyusul UU 21/1982 dan Permen 1/84, pencabutan SIUPP menimpa Majalah Tempo, Majalah Editor dan Tabloid Detik, dicabut SIUPP-nya pada 21 Juni 1994,” ungkap Atal.
Masa orde lama dan orde baru tersebut, kata Atal, mulut pers ditutup. Pers hanya dapat melihat dan mendengar, tapi tidak boleh berteriak. Hasil liputan tidak untuk diumumkan, disimpan di laci editor, dibuang atau hanya jadi catatan pribadi.
Reformasi 1998 telah mengubah segalanya. Presiden BJ Habibie kala itu, dalam masa pemerintahan yang singkat, 512 hari telah mengubah ketakutan menjadi keberanian. Sejumlah UU yang sebelumnya mengekang, dicabut. Kebebasan bersyarikat, hak asasi manusia, kebebasan menyatakan pendapat dibuka luas.
Satu yang sangat fenomenal, adalah terbitnya UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Apabila masa sebelumnya, penerbitan pers harus seizin pemerintah melalui SIUPP yang dikeluarkan Kementerian Penerangan dengan berbagai syarat, maka Habibie membebaskannya.
“Tentu kami yakin, Pak Habibie tahu bahwa kemerdekaan pers yang dihalalkannya melalui UU 40/1999 tersebut akan mengkritisi dan bahkan menyerang dirinya di saat kondisi ekonomi dan politik tidak stabil ketika itu, namun Habibie tetap konsisten atas kemerdekaan pers,” tambahnya.
Bagi Habibie, kemerdekaan pers adalah bagian dari upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang menjadi salah satu tujuan pembentukan negara Indonesia.
“Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih tidak terhingga kepada Pak Habibie. Hari ini, Senin 16 September 2019, tepat lima hari wafatnya Bapak Kemerdekaan Pers, yang sangat kita cintai, kami serahkan anugerah ini kepada putra tertua almarhum Bapak Ilham Akbar Habibie,” tutupnya.(a)
Penulis: Yeni Marinda
Editor: Kas