Antara Pengusaha Lokal dan Asing Di Tengah Kebijakan Larangan Ekspor Bijih Nikel, Siapa Untung?

PENASULTRA.COM, KENDARI – Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) meminta kebijakan pemerintah harus lebih berpihak kepada para pengusaha tambang lokal. Sebab, APNI menilai kekayaan alam di Indonesia saat ini hanya dikuasai oleh pihak asing.

Sekretaris Jendral (Sekjen) APNI, Meidy Katrin Lengkey menyebutkan, dari total 60 smelter yang akan dibangun di Indonesia, saat ini terdapat 9 smelter yang sudah berdiri dari progres 37. Namun, dari smelter yang ada, 90 persen penguasaannya adalah asing.

“Apakah smelter-smelter ini betul-betul menghasilkan produk hilir, nilai tambahnya untuk daerah dan negara di mana kalau smelter-smelter ini berdiri. Smelter mayoritas dikuasai oleh asing, apa yang didapat oleh pemerintah daerah dan negara,” kata Meidy, Sabtu 30 November 2019.

Belum lagi, kata Meidy, smelter yang notabenenya milik asing terlalu banyak diberikan fasilitas oleh negara. Diantaranya dibebaskan pajak ekspor, pungutan pajak penghasilan (PPh) dan dibebaskan mengimpor tenaga kerja dan teknologi dari negara asalnya.

Bahkan, nikel atau veronikel yang dihasilkan dari produksi smelter seluruhnya dikembalikan ke negara asal pemilik smelter. Sehingga pendapatan negara dari kegiatan itu sangat minim.

Berbeda dengan kegiatan industri hulu, yakni penambang yang mayoritas lokal. Meidy menyebutkan, sebelum beraktivitas, perusahaan tambang wajib memenuhi beberapa kewajiban.

Beberapa diantaranya adalah kewajiban membayar royalti kepada pemerintah saat pengapalan. Selain itu, penambang ada kewajiban PPh. Kemudian ketika ekpor, penambang juga dikenakan pajak ekspor.

“Dari sembilan smelter yang berdiri sejak tahun 2016, smelter sudah menyerap sekitar 60 juta ton ore nikel. Dari jumlah itu bisa dihitung, berapa yang telah diberikan penambang untuk negara dari royalti 5 persen dan PPh 1,5 ore persen. Dan itu bayar di depan,” sebut Meydi.

“Artinya, kalau kita bandingkan sisi pendapatan negara dan daerah, antara smelter dan penambang mana yang lebih untung,” ucapnya.

Sehingga, keberpihakan pemerintah sangat diharapkan. Menyangkut kesiapan para pengusaha tambang lokal menuju industri hilirisasi, yakni progres pembangunan pabrik pemurnian atau smelter.

Menurut Meidy, penambang lokal siap berpartisipasi dalam program pembangunan industri hilir atau membangun smelter. Kendati itu bukan pekerjaan mudah karena diperhadapkan dengan berbagai kesulitan, diantaranya tidak memiliki kemampuan secara finansial dan teknologi.

“Kami sangat setuju adanya program industri hilirisasi, tapi kami juga meminta pemerintah untuk mendukung pengusaha nasional. Jangan hanya mendukung pengusaha asing,” pungkasnya.

Penulis: Faisal
Editor: Yeni Marinda