Problematika “Frasa Agama” Pada Peta Jalan Pendidikan Nasional 2021-2035

Oleh: Amisbah Ramly

Peta Jalan Pendidikan Nasional (PJPN) 2020-2035 yang disusun oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menuai kritik dari berbagai kalangan, pasalnya “frasa agama” dalam draft PJPN dihapus atau hilang, sehingga Visi Pendidikan Indonesia 2035 Berbunyi “Membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera dan berakhlak mulia dengan menumbuhkan nilai-nilai budaya Indonesia dan Pancasila”. (sumber CNN Indonesia 09 Maret 2021).

Hilangnya “Frasa Agama” dalam draft tersebut menimbulkan berbagai macam opini, kritik bahkan tuduhan upaya sekularisasi dalam sistem pendidikan di Indonesia. (Sumber Media Ummat.News 08-Maret-2021). Ketua Pendidikan Tinggi Dakwah Islam (PTDI) Jawa Timur  Daniel Muhammad Rasyid mengemukakan bahwa Peta Jalan (Penyesatan) Pendidikan Nasional 2020-2035 merupakan proyek sekularisasi dimana persekolahan massal paksa pemerintah adalah proyek sekularisasi, perburuhan dan de-islamisasi sekaligus deagromaritimisasi bangsa Indonesia. UU Omnibus Law cipta kerja 2020 dan Peta jalan pendidikan Nasional itu adalah upaya legalisasi proyek nekolimik itu setelah disediakan papan lontarnya oleh amandemen UUD 1945 menjadi UUD 2002. (Sumber PWMU.Co).

Problematika Hilangnya “Frasa Agama” dalam PJPN 2020-2035 tersebut menyadarkan kita tentang pentingnya sebuah frasa atau diksi menyangkut keber-agama-an. Hal ini didasarkan pada kayakinan bahwa agama bukan saja sebagai tuntunan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, akan tetapi  juga berfungsi sebagai tuntunan dalam menentukan arah pendidikan sebuah bangsa. Merujuk pentingnya Diksi “Frasa Agama” dalam sistem pendidikan nasional, dapat kita lihat dari 3 (tiga) Perspektif, antara lain:

“Frasa Agama” Dalam Perspektif HistoryKemerdekaan Indonesia.

Bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia tidak datang dengan tiba-tiba, namun kemerdekaan bangsa Indonesia merupakan perjuangan konkrit segenap elemen bangsa saat itu, baik alim ulama, masyarakat jelata maupun masyarakat elit, organisasi keagamaan maupun organisasi sosial, arang tua, remaja, anak-anak, baik laki-laki dan perempuan, bergerak dalam mindset yang sama yaitu “Mendeka Atau Mati”.

Banyaknyapenderitaan dan korban jiwa yang dialami oleh bangsa Indonesia,  muncul sosok yang mampu menumbuhkan semangat patriotisme dikalangan bangsa Indonesia saat itu yakni KH. Hasyim Asy’ari dengan fatwa jihad, resolusi jihad dan beberapa pidato-pidato beliau. Berikut kutipan pidato KH. Hasyim Asy’ari yang memuat “Frasa Agama” antara lain:

…segala usaha mempersempit kegiatan politik kaum muslimin pada hakikatnya merupakan usaha menghilangkan syari’at Islam. Atas dasar ini perang yang kita lakukan melawan kaum penjajah merupakan perang agama. Perang di jalan Islam dan Agama Islam…” (Inggar Saputro, 2019).

KH. Hasyim Asy’ari mengemukakan bahwa status Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia sah secara Fiqhi, karna itu umat Islam wajib berjihad untuk mempertahankannya. (Muhammad Rijal fadhli 2019).

Esensi pernyataan KH. Hasyim Asy’ari dalam fatwa jihad, resolusi jihad dan pidato-pidato beliau yang memuat “Frasa Agama” tersebut adalah upaya untuk menggelorakan semangat juang bangsa Indonesia dari seluruh penjuru tanah air demi mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, yang pada hakikatnya adalah berjuang dalam mempertahankan kemerdekaan merupakan kewajiban agama. Dengan demikian bahwaeksistensi “Frasa agama” secara substansial dapat difahami sebagai nilai untuk berbuat dan bergerak dalam mindset atau alur fikir yang sama, sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dengan mengedepankan keimanan dan ketakwaan agar potensi kejujuran, akhlak, etika, saling hormat menghormati antara setiap warga negara dapat terwujud.

“Frasa Agama” Dalam Perspektif UUD 1945 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Undang-Undang DasarNegara Kesatuan Republik Indonesia pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, dan ayat (3) menegaskan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan Undang-undang. Hal dimaksudkan untuk memberi makna pada amanat undang-undang Dasar 1945 bahwa “tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran”. Melihat urgensi dari amanat undang-undang dasar  tersebut dapat dikatakan bahwa setiap pengajaran yang diberikan /diajarkan kepada setiap warga negara berorientasi pada peningkatan keimanann dan ketakwaannya, melalui pendekatan-pendekatan agama yang dianut oleh setiap warga negara.

Keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan yang Maha Esa yang termuat dalam Undang-Undang Dasar Negara kesatuan Republik Indonesia pasal 31 ayat (3) tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) tersebut, secara tersirat dapat difahami bahwa “agama” merupakan suatu hal yang sangat prinsipil untuk dijalankan dan diajarkan kepada setiap warga Negara melalui pendekatan-pendekatan ke-agama-an.

Merujuk pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 20 Tahun 2016 tentang standar kompetensi lulusan pendidikan dasar dan menengah telah menegasikan bahwa  standar kompetensi lulusan merupakan acuan utama dalam pengembangan standar-standar yang lain. Dalam Permendikbud tersebut, setidaknya ada 3 (tiga) dimensi harus dijadikan prasyarat kualifikasi kemampuan lulusan yaitu: 1. Dimensi sikap; 2. Dimensi pengetahuan; 3. Dimensi keterampilan. Dimensi sikap ini secara substansial dapat difahami sebagai sikap keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebab didalamnya terkandung nilai-nilai yang dapat mengembangkan karakter, jujur, adil, dan bermartabat. Dengan demikian “Frasa Agama” dalam Undang-Undang Dasar 1945 Tentang Sisdiknas merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam rangka upaya meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa belum ditemukannya Frasa atau diksi yang pas untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan yang maha esa, selain “Frasa Agama”.

“Frasa Agama” Dalam Perspektif Pada Sosiologi Pendidikan  

Pendidikan sangat berperan penting dalam upaya membangun peningkatan Sumberdaya Manusia (SDM), semakin tinggi peradaban dan SDM suatu bangsa maka semakin mudah mengantarkan sebuah bangsa pada kemajuan, dan instrument yang paling tepat untuk mencapai kemajuan adalah pendidikan.

Merujuk pada visi dan misi pendidikan nasional dan hubungannya dengan Undang-Undang Dasar 1945 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidikan berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban sebuah bangsa dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.  Hal ini sejalan dengan pandangan Abdullah Idi (2013) bahwa kemajuan perkembangan sebuah bangsa didasarkan pada visi dan misi pendidikan, dimana tujuan utamanya adalah meningkatkan pengetahuan anak didik/peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan yang maha esa, berakhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis.

Ditinjau dari sudut pandang sosiologi maka “Frasa Agama” harus menjadi muatan utama dalam sistem pendidikan nasional, sebab secara substansial mengandung nilai-nilai etika dan moral yang dapat diaplikasikan  oleh peserta didik dalam segala hal, baik hubungan antar manusia, hubungan antar kelompok serta hubungan antar manusia dengan kelompok di dalam proses kehidupan bermasyarakat.  Menurut Soerjono Soekanto (2013) bahwa didalam pola hubungan-hubungan tersebut – yang lazim disebut interaksi sosial – anak dan remaja merupakan salah satu pihak, disamping adanya pihak-pihak lain. Pihak-pihak tersebut saling memengaruhi, sehingga terbentuklah kepribadian-kepribadian tertentu sebagai akibatnya.

Dengan demikian, jika “frasa agama” diyakini sebagai instrument untuk menumbuhkan etika, moral, kejujuran, kepribadian yang unggul, yang dapat ditanamkan kepada setiap warga negara, maka visi dan misi pendidikan nasional wajib mendekatkan visi dan misi pendidikan Nasional tersebut melalui  pendekatan-pendekatan agama. Dengan tujuan agar mereka dalam interaksi sosialnya dapat mempengaruhi pada kebaikan-kebaikan, baik dalam hubungan antar manusia maupun hubungan antar kelompok, yang dalam konsep agama disebut sebagai Amar Ma’ruf Nahi Munkar.

Penulis adalah Dosen PPKn USN Kolaka

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *