Hati Kaghati, Film Dokumenter yang Menceritakan Kaghati Asal Muna

Pena Travel5,623 views

PENASULTRA.COM, KENDARI – Kaghati atau layang-layang purba asal Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, salah satu budaya yang telah menjadi peninggalan sejarah asli nenek moyang Suku Muna. Menurut penelitian, layang-layang yang terbuat dari daun Ubi hutan (Kolope) ini, telah berusia sekira 5000 tahun. Klaim itu berdasarkan penemuan para arkeolog yang menemukan lukisan tua di dinding dalam goa di Desa Liangkobori, Kecamatan Lohia, Muna.

Klaim ini bahkan meruntuhkan hasil penemuan para peneliti, bahwa layang-layang tertua berasal dari negeri Tiongkok, yang diperkirakan berusia 2500 tahunan.

Guinness World Records, pada 2016 lalu menobatkan Kaghati Kolope sebagai layang-layang terbesar di dunia yang pernah dibuat dan bisa terbang seukuran 5 meter. Sebelumnya, pada 2014, Museum Rekor Indonesia (MURI) menobatkan hal yang sama untuk ukuran 3 meteran. Hanya pada Kaghati Kolope.

Namun kini, layang-layang kekayaan asli Indonesia itu, terancam tinggal hanya cerita. Sebab sudah tak ada lagi generasi penerus yang dapat menganyam layang-layang ini. Benda pusaka itu pun tak mendapat perhatian serius dari pemerintah baik kabupaten maupun provinsi, terutama dalam pemasyarakatan budaya dan pembuatannya.

Pelestari yang tersisa, tinggal La Masili dan La Sima. Keduanya sudah berusia senja. Dua tokoh inilah yang membawa Kaghati Kolope hingga ke festival layang-layang di Prancis sejak 1996 sampai berkali-kali, ke Jepang pada 1997, dan festival internasional di Jakarta tahun 1998. Keduanya pula yang membuat layang-layang itu terkenal ke dunia internasional, sampai memecahkan rekor dunia.

“Dukungan pemerintah daerah itu yang minim. Kita minta bantuan bupati untuk bawa Kaghati ini ke Jakarta, tidak ada dana. Dulu waktu pemecahan rekor itu, dikasih sedikit. Untuk pulangnya kita jual Kaghati, tali, daunnya, supaya bisa dapat uang untuk pulang,” kisah La Masili usai peluncuran film dokumenter Hati Kaghati.

Keadaan ini menggugah lembaga Bajo Bangkit, menggarap film dokumenter berjudul “Hati Kaghati, Persembahan Cinta untuk Layang-layang Purba” dibawah arahan Tomy Almyjun Kibu, alumni Eagle Award Indonesia sekaligus Ketua Asosiasi Dokumentari Nusantara Provinsi Sultra.

Film dikerjakan sekitar empat bulan, sejak pra sampai pasca produksi hingga launching pada Rabu 27 November 2019, di Bioskop Hollywood Kendari.

Menurut Tomy, ide pembuatan film ini bermula dari kekhawatiran terhadap situs goa yang menjadi tempat lukisan tua layang-layang di Muna, rusak oleh tangan jahil. “Yang paling menghentak, situs itu satu-satunya, tanpa penjagaan. Kalau ada orang mabuk, iseng, ke situ dihapus atau dicoret, hilang sudah,” ujar Tomy saat pemutaran perdana karyanya.

Kebetulan, Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kala itu membuka peluang bagi komunitas untuk pelestarian budaya. Maka digaraplah film ini sampai menghabiskan anggaran sekira Rp200 jutaan.

Tantangan dalam prosesnya, mulai dari kondisi kesehatan sang subjek yakni La Masili yang terkena stroke ringan saat itu, kru yang belum punya pengalaman dalam pembuatan film profesional bahkan kebanyakan mahasiswa magang, hingga tantangan pasca produksi untuk bisa meramu film agar layak ditonton. Semua mampu dilewati.

“Kita berharap, ada kepedulian terhadap situs sejarah, film ini bisa diputar ke seluruh belahan dunia untuk memberi kabar tentang situs dan kekayaan budaya ini, juga bermanfaat bagi subjek dan upaya pelestarian sejarah. Tidak ada target bisnis dalam pembuatan film ini,” papar Tomy.

Tak berhenti di sini, film Hati Kaghati diharapkan pula memicu lahirnya upaya pelestarian dalam bentuk lain. Seperti menghidupkan Sanggar Kaghati yang dibina La Masili, melahirkan buku, lukisan, karya kreatif lainnya, serta kolaborasi antar sesama untuk pelestarian sejarah dan budaya. (b)

Penulis: Bas